CHAPTER 31

2.7K 331 16
                                    

Hari ini, hari peringatan kematian ayah. Mendung.

Jungkook berharap meski langit berkabut awan hitam, mendung, mereka tak akan menurunkan hujan. Entah mengapa, selalu sama setiap tahunnya. Setiap peringatan kematian ayah, awan seolah turut memperingatinya. Jungkook sampai berpikir mungkin ayahnya special di mata Dewa, Tuhan, atau apapun sebutannya. Sehingga bahkan setiap peringatan hari kematiannya, langit seolah turut berduka.

Setelan hitam, karangan bunga, dan sebotol soju. Jungkook berdiri di depan sebuah batu nisan tinggi. Menatap karangan bunga lily yang ia letakkan disana. Lantas ia berjongkok menaruh sebotol soju dan dua gelas kecil. Menuangkan soju ke kedua gelas kecil tersebut sembari menghela nafas, pikiran Jungkook melanglang buana pada kenangan masa lalu.

"Maaf, ayah. Aku tak pernah berkunjung kesini. Ayah pernah bilang padaku, kan. Jika aku sudah dewasa ayah ingin minum soju berdua denganku sambil menatap bintang." Jungkook menjeda sejenak. Mengambil satu gelas dan membiarkan gelas lainnya untuk ayahnya. "Sayangnya ini pagi hari. Tssk.." Jungkook mendongak menatap langit mendung seraya melanjutkan, "Aku sudah dewasa. Jadi, ini adalah pertama kalinya kita minum bersama, bukan?"

Terkekeh. Pilu.

Kenangan berpilin ke beberapa tahun lalu. Mengingat wajah ayahnya lengkap dengan mantel coklat kesayangan ayah yang acap kali dipakainya. Jungkook berusia 7 tahun kala itu. tak banyak kenangan yang ia miliki bersama ayah. Atau mungkin ia telah banyak melupakannya.

Jungkook memutar otak berusaha mengingat, kenangan apa yang sekiranya ia miliki bersama ayah. Namun seberapa keras ia berpikir, ia hanya mengingat wajah ayah yang tersenyum dan suara beratnya. Entah dikejadian seperti apa.

"Apakah ada gadis yang kau suka?"

"Ayah tahu taman bermain di depan sana? Ada anak perempuan manis yang mengusap surai Kookie saat Kookie bermain di taman bermain dengan wujud anjing."

"Aku bertemu dengannya lagi, ayah. Bukankah ini seperti sebuah takdir? Kau bilang jika kita bertemu dengan gadis yang sama lebih dari 3 kali, berarti itu adalah takdir." Jungkook terkekeh sendiri. Mengingat dirinya saat tinggal di sebuah balok kayu di gang buntu dekat pembuangan sampah. Benar-benar bau disana, terlebih dengan hidung anjingnya yang sangat tajam.

Namun senyumnya menghilang kemudian. Berganti dengan helaan nafas panjang yang membaur pada udara kelam pemakaman. Angin berhembus kencang menggerakkan kelopa lily yang bersandar pada batu nisan. Menjatuhkan gelas soju ayahnya dan menumpahkan isinya ke tanah.

"Ah, sial!" umpat Jungkook sembari menegakkan gelas ayahnya lagi dan menuangkannya lagi.

"Kau tahu, ibu datang kembali. Bukankah dia begitu kejam?" terdiam sejenak.berpikir sembari menipiskan bibirnya. "Haruskah aku memaafkannya saja? Aku sudah dewasa, sesuatu yang dulu kuanggap kejam, kini aku mulai memahami pemikiran ibu. Ibu pasti sulit menerima kenyataan bahwa suaminya tercinta juga putranya bukanlah manusia normal. Iya, kan?"

Dulu, ibu menikah dengan ayah tanpa tahu bahwa ayah adalah manusia setengah anjing. Suatu kutukan turunan untuk anak laki laki di keluarganya. Sama seperti ayah, kakekpun jugalah manusia setengah anjing. Ayah dan kakek memiliki nasib sama dimana ibu maupun nenek saat mnegetahui yang sebenarnya, mereka meninggalkan mereka.

Pemuda bersurai hitam itu menghela nafas lagi, membuang pandangan ke langit mengecek apakah mendung telah menyingkir dari atas sana. Sialnya, belum. Ah, haruskah ia terus mengumpati langit? Jungkook benci awan mendung pertanda hujan karena jika hujan turun ia akan basah kedinginan. Namun apa yang bisa ia lakukan jika Tuhan berkehendak.

Tanpa sadar ia telah duduk disini selama satu jam. Memandang batu nisan bertuliskan nama ayahnya sembari terus bercerita apa yang ia alami akhir-akhir ini. Tentang ibunya, gadis dari masa lalu bernama Kim Yoojung, dan juga pemuda sialan bernama Park Jimin.

Jungkook berdiri, menepuk celananya yang kotor karena tanah dan rerumputan kering. Menarik nafas panjang sebelum membuangnya perlahan, ia harap ia bisa menyelesaikan seluruh permasalahannya secepatnya. Mengurus di brengsek Jimin dan membawanya ke penjara.

Ia harus segera pergi dan bersiap untuk menghadiri makan malam bersama Presdir UQ Group nanti malam. Ada beberapa dokumen juga yang harus ia pelajari dan tanda tangani hari ini. Namjoon telah menunggunya sejak tadi di bawah bukit. Meski awalnya Jungkook ingin pergi sendirian ke pemakaman, Namjoon tetap bersikeras untuk mengantarnya.

Ia masuk ke dalam mobil dan memasang sabuk pengaman. "Ayo!"

---

Jimin menggenggam jemari Yoojung sembari berjalan menuju perpustakaan. Gadisnya itu mengatakan bahwa ia hendak belajar disana karena besok ujian. Maka, Jimin memutuskan untuk menemaninya tak peduli Yoojung menolaknya.

Ia harus tetap berada di sisi Yoojung, bukan? Setidaknya, untuk hari ini ia ingin bersama Yoojung setiap saat.

"Sunbae, apakah kau akan terus menatapku seperti itu?" tanya Yoojung memelankan suaranya. Jimin yang tengah memangku wajah di atas meja dan duduk di depan Yoojung tersenyum. "Kenapa? Aku membuatmu gugup? Aku ingin melihat terus wajah cantikmu. Tidak boleh?"

Yoojung terdiam sembari menghela nafas pelan. Ia tidak gugup. Hanya saja merasa tak nyaman Jimin terus menantapnya seperti itu. terlebih ia tak lagi memiliki rasa pada seniornya itu. Entah dengan cara apa ia bisa memutuskan Jimin.

"Kenapa kau selalu menggerai rambutmu? Aku lebih suka kau menguncir rambutmu ke belakang." Celetuk Jimin membuat Yoojung kembali mendongak. Ia terdiam. Memang benar, ia tak pernah sekalipun menguncir rambutnya ke belakang ketika keluar rumah. Hanya ketika ia di apartemenlah atau saat pulang ke busan, Yoojung akan menguncir rambutnya.

Ya, hanya saat di apartemen atau di rumah di Busan. Jadi, bagaimana bisa Jimin berkomentar seolah ia pernah melihatnya menguncir rambutnya?

Yoojung selesai belajar dua jam kemudian. Ia sempat memeriksa handphonenya dan mendapati Jungkook mengirimnya pesan bahwa lelaki itu akan pulang malam. Jimin menawarkan diri untuk mnegantarnya pulang. Meski ingin menolak namun Yoojung tetap membiarkan Jimin mengantartanya. Toh, tak ada gunanya menolak jika Jimin tetap bersikeras dengan keiinginannya.

"Bolehkan aku mampir ke apartemenmu sebentar?" tanya Jimin begitu tiba di depan gedung apartemen Yoojung. Gadis itu terdiam sesaat. Jimin tak pernah sekalipun masuk ke apartemennya. Haruskah ia mengizinkannya?

"Tapi sunbae, aku lelah. Be.."

"Hanya sebentar. Beri aku secangkir kopi. Setelah itu aku akan pergi." Potongnya. Yoojung pasrah, menggigit bibir dan mengangguk lemah. "Ah, kalau begitu, ayo."

Yoojung membalikkan badannya. Berjalan mendahului Jimin sementara Jimin mengikutinya di belakang. Pemuda bersurai kuning itu tersenyum. Senyuman miring menyiratkan kesenangan.

Akhirnya.

---

Yoora mengetukkan jari telunjuknya di kaca taksi. Jam menunjukkan pukul 6 sore. Ia tahu jika kakaknya melihatnya datang ke Seoul lagi, pasti ia akan dimarahi habis-habisan. Diceramahi tentang pentingnya sekolah. Namun apa boleh buat, ia khawatir. Ia khawatir akan banyak hal.

Tentang sebuah rahasia yang dikatakan oleh Nenek Choi.

Tentang pemuda bernama Park Jimin.

Dan tentang kakaknya.






To be continued.

Mad Dog✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang