CHAPTER 13

3.4K 397 12
                                    

Yoojung benar-benar tak paham akan Jimin. Ia pikir kedekatan mereka hanya selesai setelah mengantarkannya tempo hari. Ia tahu bahwa ia memang sedang berusaha mendakti seniornya itu meski belum terlaksana secara nyata. Hanya niatan. Tak masalah.

Menariknya, bahkan sebelum Yoojung melakukan pendekatan, Jimin selalu menyapanya duluan. Memakan makan siang bersamanya, atau mendekatinya saat di perpustakaan. Entah sekedar berbincang basi tentang cuaca hari ini, atau tentang buku yang tengah ia baca di perpustakaan. Membuatnya menjadi terlalu percaya diri dan mengira bahwa mungkin, hanya mungkin, jika Jimin menaruh sedikit rasa padanya.

Tapi, hei, Yoojung tak sekonyol itu yang langsung benar-benar merasa bahwa Jimin menyukainya. Ia hanya berspekulasi. Menghilangkan kepercayaan dirinya itu agar tak terlalu berharap tinggi yang membuatnya malu nantinya.

Menyebalkannya, Minseon malah memanas-manasinya dan mengatakan dengan yakin bahwa mungkin Jimin benar-benar menyukainya.

Jangan konyol. Menyukai gadis sepertinya? Jika ia sadar diri, dan menilik mantan-mantan pacar Jimin seperti Ahrin, ia benar-benar tak sebanding dengan mereka. mantan-mantan seniornya itu adalah mereka para gadis populer yang cantik dan seksi.

Dia? Jangan tanya. Kau bahkan bisa menilai dengan kacamata yang ia kenakan.

"Makanya, kau harus coba memeriksanya sendiri."

Yoojung memasukkan bukunya ke dalam tas begitu dosen keluar dari kelas. Dibanding dengannya, Minseon yang tidak menyukai Jimin malah terlihat lebih semangat tentang misi pendekatan dengan seniornya itu.

"Caranya?"

"Tembaklah dia."

Yoojung terhenti seketika, membalikkan tubuhnya dan tersenyum manis. "Kau sinting!"
Meski sebenarnya saran Minseon dapat dicoba juga. Namun ia tak terlalu ingin cepat menyimpulkan dan menembak seniornya itu. Baginya, berjalan pelan dan hati-hati, mempertimbangkan berbagai hal harus dilakukan. Salah-salah ia menembak Jimin sekarang, bukannya diterima, ia malah ditolak dan mengerikannya lagi, Jimin menjauhinya.

Tidak lucu.

Yoojung mempercepat jalannya keluar gedung. Hyunbin menyambutnya, ah ralat, menyambut Minseon lebih tepatnya. Melambaikan tangannya dan tersenyum ramah kepadanya. Oh, sungguh jika seandainya Hyunbin tak pernah berselingkuh dari Minseon, mungkin ia masih bersikap ramah pada lelaki sipit itu. Namun semuanya berubah. Ia masih mengawasi Hyunbin dan tak akan membiarkan kesalahan untuk kedua kalinya dengan menyakiti sahabat bodohnya itu. Yoojung hanya melambai dengan memasang tampang datar, melewati Hyunbin tanpa perlu menyapanya.

"Ayo kita pulang, sayang." Rangkul Minseon mesra. Ia tak heran Yoojung mengabaikan Hyunbin mengingat kawannya itu menentang keras ia berbaikan dengan Hyunbin.

Melangkahkan kaki lebar-lebar menuju gerbang keluar dari kawasan kampus, kakinya terhenti seketika mendengar Jimin melambai diujung gerbang. Dari balik kemudi, seniornya itu menyuruhnya mendekat. "Aku akan mengantarmu."

Lantas tanpa basa-basi menolak, Yoojung masuk. Ia selalu ingat perkataan seniornya itu yang selalu mengatakan padanya bahwa Jimin tak suka ditolak. Menggelikan sekali mendengarnya jika bahkan Jimin menolak tembakan para gadis. Namun itu termaafkan. Toh, benar Jimin tak boleh sembarangan berpacaran dengan gadis. Bisa-bisa menerima semua tembakan, ia akan menganggap Jimin seorang pria playboy.

"Kau dengar ini, love scenario. Aku menyukai lagunya." Ujar Jimin menyalakan musik di mobil. "Bagaimana?"

"Sebenarnya, aku jarang mendengarkan musik. Tapi selera sunbae bagus juga."
Jimin menjentikkan jarinya setuju. Mereka tertawa bersama. Pujian Yoojung tidaklah bohong atau hanya sekedar ingin menarik perharian Jimin. lagu yang Jimin putar memang bagus, dan entah mengapa sesuai seleranya. Dan mengenai ia tak banyak mendengarkan musik memang benar. Tak banyak bukan berarti tak mendengarkan satupun. Ia hanya mendengarkan lagu dari satu band sejauh ini. BTS. Hanya lagu mereka yang ia dengarkan.

"Oh ya, sebentar lagi akan diadakan festival kampus. Bagaimana menurutmu?"

"Pasti akan menyenangkan."
Jimin tersenyum. "Tidak. Bukan itu maksudku. Apakah kau akan mendaftarkan diri menjadi panitia?"

Yoojung membuka mulutnya sedikit. Ia sudah mendengar tentang hal tersebut. Di fakultasnya sendiri baru sedikit yang berminat menjadi panitia. Pertama adalah panitia untuk mengurusi stan mereka nanti, kedua adalah panita untuk festival akbarnya. Panitia untuk kelasnya sendiri sudah ditunjuk dan beruntung ia tak dipilih. Sedang untuk panitia festival utamanya, sejauh ini baru 4 orang di kelasnya yang mendaftarkan diri. Sepertinya tak ada yang berniat mengemban tanggung jawab. Sama seperti dirinya yang malas menyibukkan diri untuk hal seperti itu. Bukankah lebih nikmat tidur di rumah sambil memakan cemilan?

Jimin memutar kemudi membelokkan mobilnya selepas lampu lalu lintas berwarna hijau. Menekan klakson sekali lantaran mobil di hadapan mereka yang tidak kunjung jalan setelah lampu berubah hijau. Hampir saja ia mengumpat jika ia tak ingat sedang berkendara bersama Yoojung.

"Cobalah! Aku juga mendaftar."

"Sunbae menjadi panitia?"
Jimin mengangguk pelan sambil tersenyum. "Aku suka menyibukkan diri. Jika kita satu tim nanti, pasti akan menyenangkan. Cobalah. Aku juga ingin bekerja denganmu."

---

Jungkook memeriksa beberapa laporan mingguan para karyawannya. Semakin lama berda di dalam kantor dengan tumpukan berkas yang harus ia periksa membuatnya sedikit merasa lelah. Sepertinya tinggal bersama Yoojung dan menitipkan semua tugas kepada Kim Namjoon menjadikannya pria yang malas. Tapi tidak. ia memang merasa malas dalam dirinya, namun tetap ia akan bertanggung jawab akan semua pekerjaannya.

Menjadi presiden direktur JBC bukanlah suatu hal yang mudah dicapai. Tidak dengan dirinya di masa lalu. Semua pengorbanan yang telah dilakukan Nenek Choi adalah suatu hal yang harus ia balas. Dan ia harus membalasnya dengan mengabdi seumur hidup dengan wanita tua yang bahkan hingga umurnya mencapai 70 tahun pun tidak pernah menikah. Wanita yang telah mengerahkan seluruh hidupnya untuk dirinya.

Pintu ruangan tiba-tiba di ketuk seseorang. Namjoon, sang wakil direktur sekaligus orang kepercayaan Jungkook masuk membawa sebuah amplop coklat panjang. Pria tinggi itu mendekat ke arah meja Jungkook dan menyerahkan amplop tersebut.

"Apa ini?" Jungkook membuka perekat amplop, menatap Namjoon bingung.

"Sesuai perintah, tuan. Aku menyelidiki latar belakang Oh Rayoung. Wanita itu telah menikah lagi dan memiliki dua anak kembar perempuan yang baru saja masuk tk tahun ini. Suaminya, Oh Hyunsoo adalah seorang pengacara publik."
Jungkook menganggukkan kepala kecil, mengeluarkan isi amplop dan menatap lama isinya. Itu adalah kumpulan foto yang berhasil diambil oleh orang suruhan Namjoon untuk menyelidiki keluarga Oh tersebut.

Jungkook melihat satu-persatu foto yang menampilkan kegiatan wanita bernama Oh Rayoung tersebut. Tangannya berhenti memilah dan memegang satu foto. Matanya menatap lurus dengan tatapan tajam dan serius. Di dalam foto tersebut, Oh Rayoung tengah mengantar kedua putrid kembarnya ke sekolah bersama Oh Hyunsoo suaminya. Dan hal yang menjadi pusat perhatian Jungkook adalah senyum bahagia wanita tersebut.

"Jadi kau telah hidup dengan baik selama ini..." gumamnya menimang-nimang foto tersebut. "Baguslah kalau begitu." Lanjutnya kemudian menaruh fototersebut dengan kasar di mejanya.

Setelah menarik satu tarikan nafas panjang dan membuangnya dengan kasar. Jungkook bangkit dari duduknya. Meraih mantelnya di atas gantungan dan memakainya.

"Presdir hendak kemana? Biarkan aku mengantar presdir."

Jungkook berhenti dan berbalik di ambang pintu. "Tak perlu. Aku akan naik bis. Ah, kurasa kau bisa berhenti menyelidiki Oh Rayoung. Mengetahui kehidupannya saat ini sudah cukup bagiku."






To be continued.

Mad Dog✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang