CHAPTER 4

2.1K 223 10
                                    

Evaluasi bulan ketiga.
"Eh Yuki, lo ngapain bawa kotak bekel?" tanya Ariel sinis ketika Yuki hendak memasuki ruangan Stefan.
Yuki tersenyum kikuk, "ya mau dikasih ke pak Stefan." balasnya berusaha santai.
Semua sekretaris langsung menatapnya penuh selidik dan penasaran.
Ariel cepat-cepat menghampiri Yuki dari biliknya, "ewh, lo mau nyogok pak Stefan?" tanya Ariel sewot. Gadis itu nampak tak terima jika ada sekretaris lain yang mendekati Stefan.
Yuki tersenyum semanis mungkin, "nggaklah. Pak Stefan mana bisa disogok." balas Yuki seadanya.
"Oh, gue tau, elo pasti mau godain dia? Mau deketin dia?" tanya Ariel posesif.
"Ya, kalo iya, kenapa? Toh, pak Stefan single kan." balas Yuki tersenyum manis.
"Elo ya!" seru Ariel dengan mata melotot.
"Jangan macem-macem lo sama pak Stefan." lanjut Ariel mengancam.
"Hehe. Maaf ya kak, aku duluan. Takut pak Stefan kelamaan nunggu." balas Yuki berusaha tidak takut akan ancaman Ariel. Ia tersenyum manis sebentar lalu memasuki ruangan Stefan.
"Ish anak baru genit!" seru Ariel kesal.
Hal itu membuat para sekretaris lain seketika heboh membicarakan Yuki dan juga Ariel, terutama sekretaris wanita.

Yuki menghela napasnya lega ketika bisa duduk di hadapan Stefan tanpa mendapat perhatian dari pria itu. Stefan sendiri nampak masih sibuk dengan dokumen-dokumen di meja.
"Nggak disuruh masuk dan nggak disuruh duduk." celetuk Stefan serius.
Yuki tersenyum canggung. Ia meletakkan bekalnya di pangkuannya lalu menyerahkan dokumennya, "maaf ya, pak Stefan. Maaf banget." kata Yuki semanis mungkin.
Stefan menerimanya lalu menatap Yuki penasaran. Ia merasa ada yang aneh pada Yuki. Seperti biasa, Stefan memeriksa dan membaca dokumen Yuki, "iya, cukup." ungkapnya datar seusai membacanya. Ia segera menaruh dokumen Yuki ke tumpukan dokumen sekretaris lain.
"Kamu boleh balik." balas Stefan cuek lalu berfokus pada dokumen lainnya.
Yuki menggigit bibir dalamnya. Ia nampak belum mau keluar dari ruangan Stefan.
"Saya udah bilang keluar kan?" celetuk Stefan dengan tatapan tajam ke arah Yuki.
"Eum... eum..." Yuki nampak bingung harus memulai dari mana. Ia kini berusaha mengumpulkan keberaniannya.
"Stefan, gue minta maaf ya soal yang waktu itu." Yuki akhirnya berucap cepat dan mengutarakan maksudnya. Ia mencoba tersenyum manis.
"Gue nggak ada maksud ngomong gitu kok. Apalagi pas di mall sama pas lo obatin gue." lanjut Yuki dengan sangat gugup.
"Gue udah maafin." balas Stefan cuek lalu mengalihkan pandangannya dari Yuki ke dokumen-dokumen.
"Gue..gue..." Yuki berucap canggung, "gue nggak serius sama omongan gue. Gue mau coba belajar terima hubungan kita." lanjutnya gugup.
"Kenapa emangnya? Lo takut dipecat ya makanya ngomong manis gini?" tanya Stefan malas.
Yuki tiba-tiba beranjak berdiri menuju Stefan. Ia meninggalkan kotak bekalnya di bangkunya.
"Lo kenapa?" tanya Stefan bingung sekaligus gugup saat Yuki menghampirinya.
"Gue mau berdamai sama lo, Stefan. Maafin gue karena gue dah kasar sama lo. Karena gue dah sering nyakitin lo. Maafin gue atas semua tindakan sama omongan gue yang jelek ke elo." kata Yuki bersedih dan merasa bersalah.
"Gue udah maafin." balas Stefan seadanya. Ia mencoba cuek di hadapan Yuki.
"Gue bakal jelasin semuanya kenapa gue sampe ngomong gitu ke elo." balas Yuki. Ia menatap Stefan dalam.
"Ayo damai." ajak Yuki agak gregetan.
Stefan menautkan alisnya bingung, "apa sih, Ki? Kan gue udah maafin lo." balasnya.
"Nggak. Gue yakin elo belom bisa maafin gue." Yuki cemberut.
"Gue.. gue... udah kunci pintunya." lanjut Yuki dengan kaku dan canggung.
Stefan menatap Yuki tak percaya lalu tertawa puas. Yuki masih cemberut.
Stefan akhirnya berdiri menghadap Yuki. Benar-benar anak kecil, batin Stefan.
"Lo mau gue apain lo sampe lo kunci pintunya?" tanya Stefan misterius.
"Apapun yang bisa nebus kesalahan gue." kata Yuki dengan suara sendu. Ia sudah pasrah.
"Yaudah lo merem." suruh Stefan iseng.
Yuki memejamkan matanya dengan gugup. Yuki sebenarnya takut tapi ia yakin Stefan tidak akan bertindak jauh padanya. Kalau Stefan memang orang baik, pria itu tidak akan macam-macam padanya. Yuki meyakini hal itu.
Stefan tersenyum geli melihat Yuki yang berdiri di hadapannya dengan mata terpejam. Yukinya jadi terlihat makin lucu dan menggemaskan. Stefan perlahan menangkup wajah Yuki dengan kedua tangannya. Ia masih tersenyum geli melihat raut ketakutan di wajah Yuki.
Hup
Stefan tiba-tiba memeluk Yuki. Ia memeluk Yuki hangat sebentar. Yuki membuka matanya saat dipeluk Stefan. Ia membalas pelukan itu kaku.
Merasa cukup, Stefan melepaskan pelukannya, "gue udah maafin lo. Sekalipun lo emang nggak suka sama gue atau mau ninggalin gue, gue nggak akan marah." kata Stefan lembut.
"Maafin gue. Gue udah egois. Gue akan jelasin, tapi bukan sekarang. Waktunya nggak cukup." balas Yuki dengan nada menyesal. Ia mendongak untuk menatap Stefan.
"Sekarang, gue mau terima hubungan ini, sekalipun nanti mungkin nggak berakhir indah." kata Yuki dengan senyuman.
"Makasih karena udah mau nerima hubungan kita." Stefan tersenyum manis. Ia meraih kepala Yuki sebentar untuk mengusapnya.
"Oh iya, kenapa lo kunci pintunya?" tanya Stefan teringat lalu dengan sengaja meledek.
"Ya, elo kan cowok dewasa. Mana tau elo pengen ngelakuin hal dewasa." jawab Yuki asal dan kikuk.
"Heh, ngomongnya. Gue mana mungkin nyakitin lo. Lagian, gue kan pacarannya sama gadis kecil, jadi harus pake gaya pacaran anak kecil." ledek Stefan dengan senyuman mengejeknya.
"Hehe..." Yuki membalasnya dengan senyuman manis dan imutnya.
"Weekend nanti, elo ke apartemen gue. Elo ceritain semuanya baru deh kita ngelakuin hal dewasa." balas Stefan dengan senyuman nakal.
Yuki terkekeh geli lalu mencibir, "beraninya di apartemen." ledeknya iseng.
"Oh mau di sini?" tanya Stefan menantang. Tangannya tiba-tiba merayap ke sisi pinggang Yuki lalu mengusapnya mesra. Tubuh Yuki langsung menegang, pipinya langsung merah merona.
"Baru gitu aja udah merah." Stefan tersenyum geli lalu menghentikan 'aksi dewasa' singkatnya.
"Udah ah, gue nggak mau ngerusak penampilan lo." ungkap Stefan dengan kekehan gelinya.
Yuki tersenyum malu. Ia segera pindah ke bangkunya lagi untuk mengambil kotak bekalnya.
"Ini buat lo. Sebagai tanda permintaan maaf gue." Yuki memberikan kotak bekalnya dengan manis.
"Semoga lo suka." lanjut Yuki penuh harap.
Stefan menerimanya dengan senang hati, "makasih. Gue pasti suka kok. Lo balik gih sana, nanti dicurigain orang depan. Sekalipun pacaran, kita harus profesional." jelas Stefan bijak.
"Iya deh. Dadah, Stefan." pamit Yuki ceria. Ia segera berjalan keluar ruangan.
Stefan geleng-geleng tak percaya. Ia benar-benar tak percaya atas kejadian barusan. Ia awalnya benar-benar malas kalau harus mengevaluasi Yuki karena takut mendapat kata-kata yang tidak enak dan menyakitkan seperti yang sudah-sudah. Tapi barusan, hal tersebut sangat jauh berbeda dari bayangan Stefan. Moodnya dari yang sangat buruk bisa berubah secepat kilat jadi sangat baik.
"Gila! Lama-lama gue bisa gila cuman karena Yuki." Stefan berdecak antusias. Ia benar-benar melayang mengingat kejadian barusan. Kejadian yang biasa tapi membawa pengaruh luar biasa terhadap dirinya. Sejak kejadian itu, ia terus saja senyum-senyum, ia tak bisa melenyapkan senyuman geli, lucu, dan malunya. Ia merasa benar-benar lepas dan bahagia.
Tak mau berlama-lama senyum-senyum, Stefan beralih membuka kotak tupperware yang diberikan Yuki. Di dalamnya, ada dua kotak bekal, yang besar dan kecil. Kotak besar berisi nasi goreng dengan beragam lauk pauk. Kotak kecil berisi sepotong risoles dan kue cokelat.
Di dalam tupperware, ada juga kartu ucapan, yang berisi.

MY BOSSYFRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang