Masa-masa SMA yang menyenangkan. Punya banyak teman bermain dan melakukan banyak hal yang disukai. Tapi itu tidak berlaku untukku. Aku memangunya banyak teman tapi tidak semuanya dekat denganku. Aku tidak mempermasalahkan semua itu karena aku harus memikirkan masa depanku, seperti melanjutkan ke universitas atau pekerjaan yang ku inginkan dan aku harus mendiskusikan semua itu dengan wali kelas dan juga orang tuaku.
Aku baru saja selesai bicara dengan wali kelasku saat seseorang memanggil namaku.
"Takeda-sensei."
"Apa kalian sudah selesai?" Tanya Takeda sensei pada wali kelasku."Kami baru saja selesai. Takeda-sensei. Ada apa?"
"Aku ingin meminta bantuan murid anda. Apa tidak apa-apa?"
"Tentu saja. Nah, kamu ikutlah dengan Takeda-sensei."
"Baiklah,"
Aku mengikuti Takeda-sensei keluar ruang guru. Aku tidak tahu apa yang harus kubantu, tapi kami pergi ke perpustakaan.
"Kamu tunggu di luar dulu ya," ucap Takeda sensei lalu masuk ke perpustakaan dan tidak lama kemudian dia keluar sambil membawa sesuatu.
"Maaf, apa aku terlalu lama?"
"Tidak sensei, tapi apa itu?"
"Majalah bulanan bola voli, baru saja terbit. Tapi aku meninggalkannya di perpustakaan," Takeda-sensei memberikan majalah itu padaku."Tolong berikan itu pada Sawamura Daichi-kun, siswa kelas 3 dan juga kapten bola voli laki-laki. Aku tahu kau mengenalnya." Takeda-sensei tersenyum, "Oh, katakan juga kalau Pelatih Ukai akan datang terlambat. Aku benar-benar sibuk hari ini, maaf sampai merepotkanmu. Terimakasih."
Setelah mengatakan hal itu Takeda-sensei langsung pergi. Sejujurnya aku sedikit terkejut ketika nama Sawamura-senpai disebut, aku bahkan lupa kalau Takeda-sensei adalah Pembimbing klub bola voli dan Sawamura Daichi adalah senior sekaligus orang yang kusuka. Kami saling mengenal, dan sering bertemu tapi, aku tidak berani menyatakan perasaannku sampai dia kelas 3 dan aku kelas 2.
Kelas Sawamura-senpai lumayan ramai, namunaku masih bisa mendengar suara Sawamura-senpai. Suara yang tegas dan juga keren.
"Sawamura-senpai," aku memanggilnya lumayan keras, meski begitu orang-orang tidak menoleh karena terkejut, hanya Sawamura-senpai yang berhenti bicara dengan temannya lalu menghampiriku.
"Hei, ada apa?"
Aku menyodorkan majalah titipan Takeda-sensei. "Takeda-sensei menitipkannya padaku. Dia tidak bisa memberikannya padamu karena harus rapat, dia juga bilang kalau pelatih Ukai akan datang terlambat."
"Oh, sudah terbit rupanya. Terima kasih."
"Sama-sama. Aku permisi senpai,"
Aku berbalik, menghela nafas lalu berjalan seolah tidak terjadi apapun, walau kenyataannya jantungku berdegup kencang sedari tadi."Tunggu."
Aku menoleh dan melihat Sawamura-senpai yang menggaruk belakang kepalanya, "Apa kau mau pulang bersama? Ah, tapi aku harus latihan hari ini. Bagaimana kalau besok? Tapi, besok aku ada tambahan pelajaran. Bagaimana kalau lu-"
"Nanti saja," ucapku memotong ucapan Sawamura-senpai. "Aku bisa saja menunggu sampai senpai pulang." Aku tersenyum sementara Sawamura-senpai sedikit terkejut namun mengangguk setelahnya.
"Senpai sibuk sekali," ucapku ketika Sawamura-senpai mendekat kearahku.
"Begitulah, untuk kelas 3 yang ingin mengikuti kegiatan klub. Kami harus mempertahankan nilai kami."Kelas 3 kah? Hanya beberapa bulan lagi mereka akan lulus dan masuk ke perguruan tinggi. Tidak terkecuali Sawamura-senpai. Aku menghela nafas, perasaanku tidak nyaman. Perasaan ini, bagaimana aku harus mengatakannya? Sebenarnya aku tidak ingin terus menyembunyikan perasaanku. Tapi aku terlalu pengecut untuk mengatakannya. Terlalu takut untuk ditolak.
Pukul 5 sore, seharusnya Sawamura-senpai sudah selesai latihan. Tapi dia belum datang ke kelasku, dan aku juga masih belum memutuskan untuk mengatakan perasaanku atau tidak.
"Ketemu. Aku sudah selesai, ayo pulang."
Aku mengangguk lalu berjalan mengikuti Sawamura-senpai dari belakang. Aku melihat punggung Sawamura-senpai. Semakin lama aku merasa Sawamura-senpai menjauh dariku sehingga aku tidak bisa lagi menggapainya, maka aku memanggilnya."Senpai,"
"Ada ap-"Sawamura-senpai tidak melanjutkan ucapannya. Dia malah memelukku. Untuk beberapa saat aku merasa tenang karena Sawamura-senpai masih ada di dekatku, tapi ketika aku merasakan air mataku mengalir di pipiku, aku tersadar kalau aku menangis.
Aku takut Sawamura-senpai menjauh dariku sampai menangis, tapi Sawamura-senpai sekarang memelukku sambilmengucapkan kalau semuanya akan baik-baik saja.
Perkataan Sawamura-senpai seperti sebuah mantra, setelah beberapa saat aku mulai merasa lebih tenang, aku bahkan mulai sadar kalau kami berada di samping tangga sekolah.
"Senpai, aku-"
Semuanya begitu cepat. Aku tidak bisa melanjutkan perkataanku karena Sawamura-senpai menciumku singkat dan menghapus air mataku.
"Aku tau. Karena aku sudah tahu, jadi jangan menangis lagi."
"Senpai.." ucapku lirih.
"Setelah turnamen musim semi. Aku akan mengatakannya dengan benar dan kau hanya perlu menjawab 'iya'."
Setelah turnamen, meskipun agak lama aku sedikit lega karena Sawamura-senpai ternyata menyukaiku juga.
"Sampai saat itu tiba, tolong jangan jatuh cinta dengan laki-laki lain. Jadi aku punya alasan membawa kemenangan kami."Sawamura-senpai menepuk kepalaku pelan. Aku tersenyum senang. Selama perjalanan pulang ke rumahku, Sawamura-senpai tidak melepaskan tanganku sama sekali.
Hari ini adalah hari terbaikku selama 2 tahun aku sekolah di SMA.