Aku memperhatikan ketua kelas yang sedang menulis di papan tulis tentang rincian acara festival budaya yang akan diadakan 1 bulan mendatang dengan bosan.
Festival budaya memang menyenangkan, tapi sayangnya aku tidak biasa bersenang-senang. Tidak ada yang pernah mengajakku untuk menikmati festival budaya. Sejak kelas satu aku selalu dijauhi tanpa alasan yang jelas.
Awalnya aku tidak masalah, tapi ketika aku kelas dua aku merasa ada yang salah denganku. Jadi aku berusaha bergaul dengan anak perempuan yang lain. Tapi setelah 5 menit aku bergabung dengan mereka, aku ditinggalkan.
Setelah itu aku berpikir bahwa mungkin aku tidak cocok dengan mereka. Yah, apalagi aku tidak terlalu feminim, jadi kupikir wajar saja.
“A-ano, maaf. Kita ditugaskan untuk membeli peralatan untuk menghias kelas.”
Aku menoleh ke laki-laki yang berdiri di sebelahku. Kenapa dia kelihatan ragu-ragu? Kalau tidak salah namanya Yamaguchi kan? Aku hampir lupa kalau dia juga cukup sulit untuk bicara dengan orang-orang.
“Oh, temannya si kacamata menyebalkan.”
“Si kacamata menyebalkan?” Yamaguchi diam sebentar kemudian tersenyum, “Maksudmu Tsukki? Iya aku temannya. Namaku Yamaguchi Tadashi.”
Tsukki? Apa itu panggilannya si kacamata menyebalkan itu? terlepas dari sikapnya yang menyebalkan dia tampaknya tidak begitu memusingkan panggilan temannya padanya. Lucu sekali. Aku jadi membayangkan bagaimana wajahnya ketika dipanggil Tsukki. Pasti menarik.
“Aku tahu. Mohon bantuannya.” Aku tersenyum. Hanya senyum biasa, tapi Yamaguchi terlihat terkejut. Kurasa aku tidak melakukan hal yang salah, jadi apa yang membuatnya terkejut.
Yamaguchi menarik kursi kosong di depanku dan duduk. Dia duduk dan tersenyum, seperti biasanya. Tadi terkejut, sekarang tersenyum. Aneh.
“Aku tidak tahu kalau kau ternyata memperhatikan orang-orang. Kau bahkan tahu kalau aku temannya Tsukki.”
Aku mengendikkan bahu. Di lingkungan yang kecil seperti sekolah, kau itu tidak bisa bersembunyi atau menyembunyikan rahasia. Sekali kau mengatakan satu hal orang-orang pasti akan mulai membicarakannya. Apalagi orang-orang senang dengan berita baru.
“Aku kira tidak ada satupun siswa seangkatan yang tidak mengenal si kacamata itu. Kudengar popularitasnya melonjak setelah kalian bermain di Tokyo. Aku juga menontonnya dari rumah. Kalian keren.”
Yamaguchi tertunduk semakin dalam. Acaca, apa aku melakukan kesalahan lagi? Setelah sekian lama ada orang yang bicara santai padaku, tapi aku malah melakukan kesalahaan berulang kali. Aku baru ingat kalau Yamaguchi jarang bermain di pertandingan. Jangan-jangan dia mengira kalau aku sedang meledeknya. Tidaaakk. Mungkin sebaiknya aku memuji dia saja.
“A-aku. Ti-ti-ti-tidak ma-maksudku itu.. Kau juga keren ketika main, apalagi saat …” aku berhenti bicara ketika Yamaguchi mnyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan yang dilipat diatas meja. Dia ini kenapa sih? Moodnya berubah-ubah terus dari tadi. Aku jadi bingung harus bagaimana menghadapinya.
“Kau ini senang sekali mengatakan hal yan membuat orang malu ya?”
Hah. Mengatakan hal yang memalukan? Apa? Yang mana? Kapan?
“Mereka memang keren, tapi tidak denganku. Butuh waktu lama untukku terbiasa dengan tim dan mencetak angka.”
Yah, yang itu aku juga tahu. Rasanya menyebalkan ketika aku melihat pendukung lawan mengasihaninya. Itu memang saat-saat yang tidak bisa dilupakan.
“Tapi aku tidak akan menyerah. Aku akan berusaha untuk tim.”
“Sudah pasti kan? Tim ini membutuhkanmu.” Aku diam sebentar lalu melanjutkan, “Kalau si kacamata itu mendengarnya dia mungkin akan bilang begitu. Kaku sekali kan?”