Musim panas tahun ini entah kenapa terasa lebih panas sejak aku masuk SMA. Dan tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA. Tahun depan aku akan mendaftar Universitas. Waktu cepat sekali berlalu. Tapi beberapa hari terakhir ini hariku terasa semakin panjang daripada seharusnya.
Hal ini dimulai ketika tiba-tiba saja teman masa kecilku, Akaashi berdiri di depan bangkuku. Dia tidak mengatakan apapun tapi wajahnya seolah ingin mengatakan sesuatu. Saat itu aku tidak tahu, kalau dia akan membuat hari-hariku semakin panjang seperti ini. Kalau aku tahu, aku pasti sudah meninggalkannya di kelas tanpa mendengarkan apa yang ingin dia katakan.
Bahkan sampai sekarang, 3 hari sudah berlalu, aku masih tidak percaya dengan apa yang kudengar.
“Bagaimana?”
“Tidak.”
“Egois sekali.”
Aku berhenti berjalan dan menatap Akaashi galak. Tapi itu tidak berpengaruh pada Akaashi yang selalu memasang poker face kemanapun dia pergi.
“Egois kau bilang. Kau itu benar-benar meminta hal yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin kau memintaku untuk mengajari Bokuto-san pelajaran matematika sementara kau lebih pintar matematika daripada aku.”
“Aku tidak punya pilihan. Ayolah tolong aku.”
“Akaashi-san kau benar-benar merepotkan. Jangan ganggu aku. Aku sibuk.”
Aku mengabaikan Akaashi dan langsung duduk di bangkuku. Untung saja Akaashi dan aku tidak satu kelas, jadi setidaknya aku memiliki waktu dimana Akaashi tidak akan menggangguku. Pelajaran berlangsung dengan tenang seperti biasa, namun aku tidak bisa fokus.
Memikirkan bagaimana Akaashi meminta bantuanku sampai seperti ini, pastilah dia punya alasan yang kuat. Apa seharusnya aku menolongnya saja ya? Kalau kuingat-ingat, ini adalah kali pertama dia meminta bantuanku. Yah, dia dari dulu memang bisa melakukan apapun dan semua hasilnya baik.
Sebenarnya apa yang dia pikirkan?Aku merapikan bukuku dan akan pergi ke kantin, ketika Akaashi datang dan memberikan sekotak bento padaku dan sebotol air mineral.
“Aku tidak bisa disogok dengan sekotak bento, kau tahu itu Kei.” ucapku lalu mendorong kotak itu kearahnya.
Akaashi menghela nafas, dia lalu memutar kursi di depanku dan duduk menghadapku, “Makan sajalah. Aku tahu, aku tidak bisa memaksamu. Kau paling tidak suka dipaksa, dan aku juga tidak biasa memaksa.”
“Bagus kalau kau tahu.”
Akaashi mengangguk, “Aku tahu. Tapi tidak masalah kalau aku mencoba kan?” ucap Akaashi masih tidak mengalihkan pandangan dari ponselnya.
“Tidak seperti dirimu saja.”
“Nasib tim kami dipertaruhkan. Aku ragu kami kan menang di turnamen selanjutnya tanpa Bokuto-san, karena itu aku minta bantuanmu.”
Aku berhenti makan, “Apa hubungannya denganku?”
“Dia hanya mau diajari olehmu. Tidak masuk akal memang, tapi aku tidak punya waktu untuk menolaknya karena untuk membujukmu pasti juga akan memakan waktu.” Akaashi menyimpan ponselnya, “Aku sudah berusaha meyakinkanmu, tapi tetap tidak berhasil.”
Keadaannya sepertinya lebih merepotkan daripada yang aku perkirakan. Aku tidak kenal Bokuto-san seperti aku mengenal Akaashi tapi dia cukup terkenal di sekolah dan sepertinya Akaashi cukup kerepotan. Sepertinya aku tidak punya pilihan lain selain membantu Akaashi kali ini.
“Kita tidak punya cukup waktu sampai ujian selanjutnya, jadi mungkin kita bisa mulai belajar hari ini.” Ucapku sambil kesulitan membuka botol minum. Nilai matematikaku sebenarnya tidak terlalu buruk, namun tidak bisa dibandingkan dengan nilai Akaashi yang selalu sempurna dalam matematika.
Akaashi mengambil botol minumku dan memberikannya kembali padaku setelah membuka tutupnya.
“Terimakasih karena sudah membantu,” Akaashi menghela nafas, “Kau dengar itu Bokuto-san. Temanku yang baik ini sudah bersedia mengajarimu, jadi berlatihlah dengan sungguh-sungguh.”
Tunggu, apa Akaashi mengatakan sesuatu yang seperti Bokuto?
“Hei hei hei, selamat Akaashi. Kau membuatku kagum.”
Aku melihat seorang yang baru saja mendekat dan merangkul Akashi. Orang yang hanya kulihat di pertandingan bola voli, Bokuto Koutaro.
“Bo –kuto-san,” gumamku. Siapa pikir aku akan benar-benar berhadapan dengan rekan Akaashi yang terkenal.
“Oh. Bokutou Koutaro, Kapten tim bola voli. Senang bertemu denganmu, selama beberapa hari kedepan mohon bantuannya.” Ucap Bokuto sambil membungkuk.
Setelah perkenalan yang singkat itu, setiap hari setelah pulang sekolah, kami bertiga selalu duduk di meja yang sama dengan beberapa soal matematika.
Hanya 30 menit, sebelum latihan rutin mereka dimulai, jadi aku harus berpikir untuk menjelaskan semua yang dibutuhkan kepada Bokuto. Awalnya kupikir Bokuto akan kesulitan memahami penjelasanku, karena aku tidak terbiasa mengajari seseorang. Namun diluar dugaan, dia selalu bisa mengerjakan soal dengan benar. Jadi apa yang membuatnya mendapatkan nilai yang buruk di matematika?
“Terima kasih sudah datang,” ucap Akaashi yang menyambutku.
Setelah ujian selesai Akaashi mengundangku untuk melihat latihan mereka. Aku tidak begitu mengerti bola voli tapi karena Akaashi mengundangku, jadi aku datang. Aku naik ke lantai atas untuk menonton mereka berlatih.
“Hai, Akaashi memberitahuku kau datang.”
“Halo Bokuto-san.”
Aku tidak tahu kalau Bokuto-san akan datang menyapaku juga. Tapi, bukankah dia seharusnya di bawah berlatih dengan yang lain? kenapa dia malah duduk di sampingku?
“Ano—“
“Terimakasih untuk bantuanmu yang kemarin ya. Rasanya ujian ini aku akan mendapatkan nilai yang bagus.”
“Oh, sama-sama. Ngomong-ngomong soal bantuan, kenapa Bokuto-san memintaku untuk mengajari Bokuto-san pelajaran matematika? Padahal Akaashi lebih pintar dariku loh.”
Bokuto-san tidak segera menjawab pertanyaanku, jadi aku melihatnya dan kulihat wajahnya memerah.
“Karena Akaashi itu laki-laki.”
Bokuto-san menjawab pertanyaanku dengan suara yang lirih. Mungkin hanya aku yang bisa mendengarnya di tengah keramaian gedung ini. Aku terkejut, dan Bokuto-san semakin menundukkan wajahnya.Lucu sekali. Aku tertawa kecil, “Jadi salah Akaashi karena dia adalah laki-laki, makanya Bokuto-san meminta diajari olehku?” Aku menyangga daguku sambil melihat Bokuto-san yang masih malu. “Apa sebaiknya aku mendandani Akaashi menjadi perempuan, agar Bokuto-san tidak perlu repot?”
“Dia tidak akan mau, lagipula aku tidak naksir Akaashi seandainya dia perempuan.”
“Kenapa?”
“Bayangkan saja. Kalau Akaashi jadi perempuan, jadi pasti bukan tipe perempuan yang imut, dan lembut. Berbeda denganmu, walaupun kau guru yang tegas, tapi kau baik, lembut dan memperhatikanku.”
Aku membuka mataku lebar karena tidak menyangka kalau Bokuto-san akan membandingkanku dengan Akaashi versi perempuan. Aku kan tadi berniat meledeknya, tapi dia malah memujiku seperti itu. Aku memalingkan wajahku. Aku malu.
“Yah, seandainya aku perempuan. Aku juga tidak akan baik pada orang yang merepotkan seperti Bokuto-san.”
“Akaashi.” Bokuto-san berteriak ketika terkejut melihat Akaashi sudah ada di belakangnya. “Sejak kapan kau ada disini?”
“Sejak kau mengatakan bahwa aku bukan perempuan yang imut. Tentu saja aku tidak imut, karena aku bukan perempuan. Sekarang berhenti mengganggu temanku dan kembali berlatih.”
Bokuto-san hanya pasrah ketika dipaksa untuk ikut latihan.
“Sampai nanti setelah latihan ya.” Ucap Bokuto-san sebelum dia benar-benar keluar dari pintu.Wah, wah kira-kira apa yang akan terjadi ketika kamu bertemu setelah mereka selesai latihan nanti ya? Memikirkannya saja membuatku gugup.