Butir kedelapan belas : Renungan Panjang

5.8K 1K 307
                                    

Terdengar suara pintu yang tertutup, menggema di lorong rumah sakit. Helaan napas berat keluar dari seorang pria yang terlihat menempati umur 40an.

Ia berjalan gontai. Menyusuri lorong rumah sakit yang terasa mencekik baginya. Sambil melonggarkan dasi hitamnya, pria itu terus berjalan dengan gontai.

Langkahnya ia seret paksa. Rasa sesak yang dirasa tidak kunjung reda.

Pikirannya melayang ke mana ia sedang berada dengan istri dan anaknya.
Sampai lamunan itu terputus dikarenakan tabrakan kecil yang mendorong tubuhnya.

"Maaf.."

Pria itu menunduk. Kerjapan mata pemuda di hadapannya seakan menyadarkan diri dari lamunan.

"Maaf paman.." Cicit dari pemuda di hadapannya sambil menunduk.

Entah apa yang membuat pemuda bertubuh kurus itu merasa begitu bersalah.

"Tidak apa, salahku yang terus menunduk saat berjalan tadi."

Pemuda itu mendongak. Matanya menatap tidak percaya kepada pria di hadapannya.

Perlahan, senyumnya mulai mengembang. Matanya menyipit dan terdapat kerutan lucu di ujungnya. "Jarang sekali aku tidak mendapat tatapan aneh ataupun jijik dari orang yang melihatku, paman." Serunya senang.

Pria yang lebih tua itu tertegun. Ia baru menyadari ada yang berbeda dari pemuda di hadapannya.

Rambutnya yang terlihat halus jatuh menutupi kelopak mata yang terbingkai dengan bulu mata nan lentik. Hidungnya bangir, terpahat dengan sempurna. Bibir tipis nan merona, ditambah pipinya yang tembam, berbanding terbalik dengan tubuh kurus kecilnya.

Tampak seperti pemuda menakjubkan lainnya, kecuali dengan buntalan besar yang berada di balik baju pasien pemuda itu.

Jujur, itu aneh.

Baru kali ini dia melihat seorang pemuda yang sedang hamil tua.

Tapi, melihat senyum dan wajah dari pemuda manis di hadapannya, membuatnya tidak enak hati untuk menganggap laki-laki yang bisa mengandung itu aneh dan aib.

"Kamu membawa nyawa lebih bukan? Dan itu merupakan sebuah karuniaNya."

Pemuda di hadapannya menangguk semangat, "Tuhan sangat mencintaiku."

Perasaan hangat menjalar ke dalam hati. Melihat pemuda yang mungkin berumur hampir sama dengan anaknya itu, bersemangat.

"Tentu, Tuhan sangat mencintaimu. Dan ia membenciku."

Senyum pemuda manis itu meluntur. "Tapi paman.. Tuhan maha pengasih. Tidak ada umatnya yang ia benci." Tuturnya pelan.

Pria yang lebih tua tersenyum lemah, "Tapi ia merampas segalanya dariku."

Terlihat pemuda di hadapannya menggelengkan kepalanya kuat, surai hitamnya bergerak ke sana ke mari.

"Tapi.. memang itu semua bukanlah milik kita kan? Tuhan hanya menitipkan, lalu sewaktu-waktu ia bisa ambil kembali namun bukan merampasnya dari kita."

Pemuda di hadapannya menghela napas sebelum melanjutkan kembali perkataanya.

"Aku mempunyai ayah yang sangat luar biasa. Ia merupakan titipan dari Tuhan. Maka, saat ia diambil kembali, itu adalah hak Tuhan bukan hakku."

Tatapan teduh pemuda itu menusuk ke pria yang lebih tua. "Jika, paman masih beranggapan bahwa Tuhan merampas milik paman, maka hidup paman tidak akan pernah bahagia."

[END] Angel's Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang