“Pa.”
Aria merasakan telapak tangannya basah karena gugup.
“Kalo kamu mau ngomongin soal kuliah lagi, Papa nggak mau dengar.”
Aria seperti sudah kalah tanpa perang. Dia memejamkan mata, tak mau mendapatkan lagi kalimat motivasi dari Annan. Dia bahkan sudah nampak seperti cewek cengeng di hadapan cowok itu tempo hari.
“Pa, selama ini Papa nggak pernah dengerin Aria,” ucapnya membela diri.
Ayahnya menutup koran yang sedang beliau baca, lalu menatap tajam pada Aria.
“Kamu juga nggak pernah dengar Papa. Kenapa minta didengar?” tanya beliau tajam, membuat keberanian Aria perlahan menciut.
“Pa, Aria tuh, nggak punya bakat di finance.” Cewek itu tetap menyampaikan tujuannya.
“Aria tuh, cuma pengin Papa percaya sama Aria. Aria bukan anak umur sebelas tahun yang harus didikte kalo mau ngelakuin apa pun. Aria tahu, Aria butuh kepercayaan dan dukungan dari Papa.”
“Aria tahu, mungkin Kak Jenna kemarin salah karena udah ngambil jurusan komunikasi dan berakhir jadi wartawan, juga hampir kehilangan nyawa waktu liputan. Aria tahu, tapi Aria tuh, nggak mau jadi wartawan, Pa, meski Aria mau ambil jurusan komunikasi.” Aria menahan air matanya saat mengingat kakaknya yang sekarang menganggur di rumah, memiliki trauma, dan hal itu jelas membuat ayahnya terpukul.
“Papa cuma nggak mau kamu kayak Jenna. Papa cuma nggak mau kehilangan kebahagiaan Papa yang lain.”
A/N:
Selamat pagi para pembaca.
Mon maap ya kalo ada komen yang tak terbalas. Aku tu kalo balesin komen sambil melakukan hal lain gitu jadi kadang notifnya balik lagi ke atas jadi harus nyekrol ke bawah lagi dan sepertinya ada yang kelewatan2 gitu.
Niatnya sih, balesin semua cuma apa daya:(
Percayalah, aku ramah, pipel.
Hehe
KAMU SEDANG MEMBACA
tell me it's okay
Historia Corta"KAN, GILA LO TAHU NGGAK?" "..." "Gini, tadi tuh, Pak Bowo udah hampir aja ngelihat gua ketiduran." "..." "UNTUNG AJA BEL BUNYI." "Salah sambung." "HAH?" ©2018 | cover by @worteloren