“Lo mau rasa apa?”
Aria menatap semua rasa yang tersedia, lalu menatap Annan. “Mint, vanilla, chocolate chips.”
Annan mengulang apa yang dikatakan Aria pada pegawai sembari menyebutkan rasa yang dia inginkan. “Yang satunya, vanilla, taro, sama pisang, ya, Mbak.”
“Lo juga alergi cokelat kayak Aga?” tanya Aria saat mereka sudah duduk dan mulai menyantap es krim.
“Nggak sih, tapi nggak terlalu suka,” jawab Annan.
Aria mengangguk-angguk. “Tadi menang?”
Annan mengangguk sambil tersenyum kecil.
“Lo dapet makanan apa aja tadi?”
“Hmm, dapat es buah yang manisnya kebangetan, dapat molen pisang yang enak banget, dapat ketoprak yang beneran enak kali ini.”
Annan melongo. Dia menatap Aria yang masih kurus-kurus saja, membuat Aria melotot. “Gua nggak cacingan!”
Annan tertawa. “Siapa juga yang mau bilang lo cacingan?”
“Gua tahu tuh, yang ada di pikiran lo!” jawab Aria, meskipun melotot, bibirnya agak susah untuk tidak tertarik ke atas.
“Tadi lo ada di lapangan futsal, ya?” tanya Annan, ketika ingat kalau suara riuh ramai menyambutnya kala dia menelepon Aria.
“Iya, Kania minta ditemenin buat nonton Daffa,” jawab Aria.
Meskipun Aga-nya ketonton juga, Nan, lanjut Aria dalam hatinya. Dia menatap alis Annan yang memang utuh, beda dengan alis Aga yang sudah pernah dicukur.
Aria memejamkan matanya. Dia memutuskan untuk mengenal Annan lebih jauh.
“Ar, gua mau ngomong serius nih.”
Aria menatap Annan, lalu mengembuskan napas perlahan. “Ngomong apa?”
“I don't know anything between you and my twins, tapi gua yakin, apa pun yang pernah terjadi di antara kalian itu pasti nyakitin di pihak lo-nya,” ucap Annan.
“Gua tau, mungkin kembaran gua emang kayak cowok brengsek, atau bukan kayak lagi, tapi e—”
“Nggak, Nan, nggak ada yang salah kok, sama Aga. Kita ngambil keputusan itu bersama, but yeah, sampe sejauh ini, gua mungkin belum move on dari dia.” Aria mengembuskan napas lagi.
Annan sebenarnya gatal ingin bertanya, tapi dia paham Aria memiliki privasi, dan Annan harus menghargai hal itu.
“Lo... lo bukan cewek yang dibuat taruhan sama anak-anak 'kan, Ar?”
“Oh, hah, nggak. Itu emang jadi alasan utama kenapa gua nggak mau lanjut sama Aga sih, meskipun gua nggak tahu Aga ikut taruhan itu atau nggak.” Aria tertawa kecut mengingat kalau dia harus membunuh perasaan sukanya kalau tak mau sakit lebih dalam.
“Tapi emang Aga masih ngejalanin taruhan itu?” tanya Aria.
Annan menggeleng. “Syukurlah nggak. Aga tuh, tampangnya emang brengsek, cuma dia jujur selama ini soal semua alasannya. Itu sih, poin positifnya. Dia juga nggak mau memperlakukan cewek semena-mena, karena dia pasti kepikiran bunda.”
Hening. Aria bahkan menatap es krimnya yang separuh leleh sambil memikirkan kenapa dia tak mengenal Annan lebih dulu?
“Semoga lo nggak dendam, ya, sama Aga.”
Aria tertawa, membuat Annan menikmati setiap detiknya. “Ya, nggaklah! Aga selama ini baik kok, cuma, ya, baiknya seorang abang, tapi bodohnya gua nyaman.”
Annan tersenyum. "You're going to meet someone who treats you better.”
A/N:
Update 3x sehari biar kayak minum obat.
Selamat malam good people!
KAMU SEDANG MEMBACA
tell me it's okay
Cerita Pendek"KAN, GILA LO TAHU NGGAK?" "..." "Gini, tadi tuh, Pak Bowo udah hampir aja ngelihat gua ketiduran." "..." "UNTUNG AJA BEL BUNYI." "Salah sambung." "HAH?" ©2018 | cover by @worteloren