“Boys do cry, Annan.”
Annan tersenyum kecil. “Nggak bisa.”
Aria meremas telapak tangan Annan yang lebarnya dua kali lipat dari telapaknya sendiri. Berusaha menyalurkan kekuatan yang dia miliki pada cowok ini. Juga berusaha mengabaikan kenyataan bahwa Annan masih demam, meski dua hari sudah lewat dari kabarnya kemarin.
“Makasih, ya, udah datang.”
Aria tersenyum. “Nggak masalah. Selama gua masih bisa kasih support, why not?”
“Bunda... bunda sebenarnya udah lama kena kanker.”
Aria mengelus punggung tangan cowok itu. Diam, tak ingin menginterupsi Annan.
“Beberapa bulan terakhir, Bunda benar-benar baik-baik aja. Kemoterapi, pengobatan-pengobatan lainnya. Ya, intinya, Bunda oke. Atau mungkin emang cuma gua yang berusaha menanamkan dalam otak gua kalau Bunda oke.
“Bunda baru nge-drop lagi sekitar sebulan yang lalu. Itu juga, sampe setengah bulan lebih, terus Bunda kayak sehat banget. Banget. Sampe gua benar-benar percaya kalau mukjizat Tuhan abis gini dateng.”
Aria bukan cewek cengeng. Dia yakin. Menonton film sedih sekalipun, cewek itu hampir tak pernah menangis. Mungkin hanya merinding disko, tapi melihat Annan serapuh ini membuatnya takut. Takut tak kuat menopang Annan di saat cowok itu memang betul-betul membutuhkannya.
“Malam Natal, kami sekeluarga pergi ke Bali. Bunda yang minta. Lengkap, berenam. Bahkan kami bikin kesepakatan kalau ini quality time yang bener-bener nggak boleh main ponsel ataupun ada kepentingan selain keluarga waktu kumpul berenam. Dan gua nikmatin setiap momen itu. Ngeliat Bunda ketawa, ngeliat Aga yang bener-bener senyum setelah selama ini dia kayak orang depresi, ngeliat Ayah rehat dari kerjaannya. Semua kelihatan terlalu baik-baik aja.” Annan mengalihkan pandangannya dari peti mati ke arah Anya yang duduk bersebelahan dengan Jendra dalam diam. Rumah duka sudah sepi, meninggalkan beberapa keluarga dan sanak saudara yang masih bercengkrama.
“Sampe kemarin, waktu gua lagi di kedai es krim sama lo, Aga telepon. Katanya Bunda masuk ICU. Rasanya tuh, apa, ya? Coba lo pikirin deh, analogi yang tepat.”
Suara Annan lebih tenang dari siapa pun yang baru saja kehilangan ibunya, membuat Aria takut setengah mati.
“Intinya, mulai hari itu, Bunda di ICU. Ayah nggak jadi balik kerja. Bang Dipa nggak jadi balik kuliah, gua, Aga, sama Anya jadi berantakan juga sekolahnya.”
“Nan, lo nggak perlu cerita semuanya.”
Annan akhirnya menoleh, Aria bisa melihat kantong mata Annan yang benar-benar hitam, bola mata yang memerah karena mungkin belum tidur beberapa malam, juga perubahan fisik yang cukup kentara—jauh lebih kurus daripada sebelumnya.
“Nggak masalah. Gua... gua cuma percaya sama lo.”
“Oh, ya. Lo pasti masih nggak tahu 'kan, kenapa gua nggak nyapa lo tempo hari, ya? Sorry, tapi waktu itu pikiran gua cuma kacau, dan gua nggak mau lo ng—”
“Nan, nggak ada yang salah sama orang yang nunjukkin kelemahannya,” potong Aria.
Annan tersenyum lagi. Cowok itu terlalu banyak tersenyum di hari yang seharusnya dia benar-benar menangis sejadi-jadinya.
“Aga, paling sayang sama Bunda. Gua bener-bener takut anak itu bakal depresi beneran.”
Aria mengikuti arah pandang Annan, Aga yang duduk di dekat peti, menatap peti dengan pandangan kosong, tapi air mata terus mengalir, membuat Anya—yang sudah pindah ke sebelah cowok itu—memeluknya.
“Oh yeah, keliatan.”
Annan tersenyum. Aria merasa bahunya berat sebelah. “Tapi mungkin, sebetulnya Tuhan yang paling sayang sama Bunda.”
A/N:
:)
Semoga pertanyaannya semua terjawab yaaaaaa.
KAMU SEDANG MEMBACA
tell me it's okay
Conto"KAN, GILA LO TAHU NGGAK?" "..." "Gini, tadi tuh, Pak Bowo udah hampir aja ngelihat gua ketiduran." "..." "UNTUNG AJA BEL BUNYI." "Salah sambung." "HAH?" ©2018 | cover by @worteloren