7. Manusia Rakus

970 168 65
                                    

Seokmin melajukan mobil dengan amat sangat pelan. Berulang kali menggigit bibirnya, berusaha menetralkan amarah yang hampir memuncak. Sebenarnya jika ia tidak ingat sama sekali dengan apa yang telah diucapkan oleh Mingyu dan Jun saat sesi curhat beberapa hari lalu, sudah bisa dipastikan Seokmin tidak akan pernah mau mendatangi undangan acara makan malam dari PASANGAN Hansol dan Jisoo. Lebih baik ia mengurung diri di apartemen atau minum banyak alkohol untuk menenangkan jiwa raganya yang telah kehabisan akal sehat.

Melirik jam berwarna silver yang ada di pergelangan tangan kiri, Seokmin nampak tak khawatir sama sekali akan keterlambatan. Bahkan sekarang, ia sudah terlambat hampir sepuluh menit. Lagi pula, acara ini sangatlah tidak penting. Baginya.

Usai memarkirkan mobil mewahnya, Seokmin melangkah perlahan sambil kembali mengecek pesan yang baru saja ia terima. Lagi-lagi dari Jisoo. Dan, semua isi pesan itu sama. Menanyakan apakah Seokmin akan hadir atau tidak. Di awal, pria bangir ini tidak memiliki minat sedikit pun untuk membalas semua pesan Jisoo. Hingga sekarang ia telah sampai di restoran yang Jisoo maksud. Sebuah kejutan kecil, mungkin.

Aku sudah sampai.

Send!

Kembali memasukkan ponsel genggamnya ke dalam saku celana, Seokmin mulai memasuki lift dan menekan tombol 15 di mana ruang VIP yang sudah gadis manis itu pesan berada.

Jangan salahkan cinta pertama, salahkan diri kita sendiri yang tak bisa mengatur di mana ia harus menempat.

Seokmin berhasil memalsukan semuanya. Memang sulit, namun pemuda satu ini patut dianugrahi sebuah penghargaan atas keberhasilannya untuk menutup mata, telinga, hingga hati agar tak merintih.

Ia masih dapat tersenyum di depan dua orang yang akhir-akhir ini menyiksanya.

"Kau seorang CEO? Wah, aku tidak menyangka! Kau terlihat masih sangat muda untuk memimpin sebuah perusahaan." melihat ke arah Jisoo, "kau beruntung, sayang, dijodohkan dengan pemuda seperti dia."

Seokmin tertawa mendengarnya. Tapi, hatinya berontak. Ingin melonjak lalu memukul habis wajah tampan itu.

Hansol memang terlalu tampan untuk ukuran seorang manusia biasa. Secara fisik, ia begitu sempurna. Seokmin pikir, itulah sebabnya kenapa Jisoo tidak bisa lepas dari pemuda yang juga keturunan Amerika-Korea (sama seperti Jisoo) itu begitu saja.

Sorot mata yang tajam, ditambah lagi goresan rahangnya begitu sempurna. Merupakan perpaduan menakjubkan yang pernah ada. Seokmin sebagai laki-laki saja, mengakuinya.

"Bagaimana perjalananmu?" Seokmin membuka suara.

Sebenarnya, bukan itu yang ingin Seokmin tanyakan. Namun, pertanyaan ini jauh lebih baik dibandingkan hanya diam dan menimbulkan kecurigaan bagi Jisoo dan Hansol. Seokmin tidak ingin mereka tahu dengan kenyataan bahwa ia memang begitu terluka selama berada di sana.

Jisoo sedikit menggeser kursi kayu yang didudukinya ke belakang, bediri, melemparkan senyuman.

"Aku izin ke toilet sebentar."

Hanya untuk ke toilet, haruskah dengan cara dramatis seperti itu? Atau mungkin, hanya Seokmin yang terlalu berlebihan atas setiap tindak laku Jisoo. Setiap detiknya, Jisoo seperti sedang mendramatisir hati. Tentu hanya bagi Seokmin.

Ditinggalkan hanya berdua dengan pemuda yang secara diam-diam Seokmin anggap sebagai musuh, bukanlah ide yang bagus. Ia mulai mengambil ancang-ancang hendak memukul di bagian mana sisi wajah Hansol yang paling empuk untuk dihancurkan. Bagaimana caranya melumpuhkan pergerakan pemuda bule itu dan membiarkan ia bisa hidup dengan Jisoo. Bahagia layaknya cerita seorang tuan puteri dan pangerannya di buku dongeng.

SEOKMIN (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang