10. Tebing Tinggi Pinggir Laut

862 165 31
                                    

Setiap langkah Jisoo di ruang itu nampak menakutkan bagi Seokmin. Wajahnya manis dan lembut. Namun, memiliki bibir yang siap menancapkan kesakitan abadi.

Seokmin tidak mengerti kenapa Jisoo adalah cinta pertamanya. Pemuda ini terlalu tolol untuk mengerti cinta di usia yang sudah tak lagi remaja. Tidak pantas lagi untuk merasakan cinta monyet atau sejenis keloninya.

Yang Seokmin tahu, Hong Jisoo, adalah definisi kesakitan. Tidak hanya itu, Jisoo adalah sebuah tombak yang menancap kuat di jantung. Takkan ada yang pernah bisa mencabutnya. Kecuali, Tuhan berkeinginan lain.

"Hansol sudah kembali ke Amerika."

Jisoo akhirnya membuka suara setelah sedari tadi hanya bisa berdiri di depan sebuah pigura kecil dengan foto ia dan Seokmin di dalamnya. Tersenyum masam namun meringis secara bersamaan.

Merasa kasihan pada dirinya sendiri.

"Aku tidak mengerti, Seok. Kenapa kau melakukan itu pada Hansol? Kalau kau benci pada hubungan kami, harusnya kau juga memukulku. Aku yang selama ini menyiksamu."

"Aku tidak benci pada hubungan kalian. Jika memang aku benci, sedari awal aku akan mencegah hubungan itu. Aku tidak akan pernah mau memberikan izin padamu untuk meneruskan hubungan dengannya. Kau terlalu putih untuk pria hitam seperti dia."

"Jangan drama. Kau baru beberapa kali bertemu dengannya."

"Ya, memang. Dan meski kau sudah jutaan kali bertemu dengan Hansol pun, kau sudah dibutakan cinta. Sama sepertiku, aku sudah dibutakan oleh cinta."

"Lee Seokmin," suara Jisoo memang begitu lembut. Namun, siapa yang menyangka kalau Seokmin tercekik oleh suara itu? "Aku benar-benar membatalkan pernikahan kita kalau kau terus mengecap Hansol sebagai pria buruk. Kau hanya belum mengenalnya."

"Kita seimbang. Karena kau juga belum mengenal dia sepenuh."

Rasa ingin melindungiku nampak berakhir sia-sia.

Tiga hari sebelum pernikahan, Seokmin dan Jisoo diminta kedua orangtua mereka untuk menghabiskan waktu bersama. Hubungan mereka yang memang akhir-akhir ini nampak jelas semakin canggung, membuat kedua belah pihak keluarga mulai menaruh curiga dan meminta mereka setidaknya menghabiskan waktu seharian ini agar semakin dekat.

Melajukan mobilnya, Seokmin kehilangan arah hendak pergi ke mana. Tanpa arah, tanpa tujuan. Seharian penuh hanya menghabiskan waktu di dalam mobil yang terus melaju. Hingga tanpa sadar, mobil itu telah sampai di tepi laut.

Malam semakin larut. Angin malam menyambut keduanya yang baru saja melangkah keluar dari mobil. Bintang-bintang nampak terang dari sana.

Hingga sekarang pun, tidak ada satu pun dari keduanya yang membuka suara.

Tepi tebing tinggi, langsung mengarah ke laut. Bukankah ini tempat yang sangat cocok untuk dua orang yang frustrasi seperti mereka?

"Kau adalah cinta pertamaku, Hong Jisoo."

Jisoo terkekeh mendengarnya. "Kau sudah mengatakan hal itu sebelumnya. Dan, jawabanku belum berubah. Cinta pertama takkan pernah berhasil, Lee Seokmin. Kau hanya akan buang-buang waktu."

Menatap ke bawah, Seokmin tahu seberapa tingginya tebing yang tengah ia dan Jisoo jajaki. Pasti, jika ia lompat dari situ, kehidupan dunia akan berakhir di sini.

Jisoo menyadarinya. Jisoo tahu apa yang Seokmin lihat. "Seokmin? Kau tidak berniat untuk mati konyol di sini, kan?"

Seokmin terkekeh geli mendengarnya. Hanya sebentar, lalu kembali pada kenyataan. Perlahan mendatangi Jisoo, menyingkirkan rambut panjang yang sibuk tertiup angin dan menutup wajah manis itu.

SEOKMIN (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang