20. Pengabulan Do'a atau Pembalasan Dosa?

1.1K 157 48
                                    

Jisoo menyikap gorden kamarnya. Membiarkan cahaya matahari masuk bersamaan dengan hawa panas yang dihasilkannya. Dilihatnya Seokmin akhirnya melakukan pergerakan di atas ranjang itu. Mulai terusik dengan cahaya terang yang menabrak kulitnya.

Sedari tadi Jisoo sudah berusaha keras untuk membangunkan laki-laki kelewat mencung itu. Berbagai cara dilakukannya agar sang suami mau bangkit dari ranjang dan segera bersiap untuk jadwal rapat hari ini. Namun, hasilnya nihil.

Begitu banyak alasan yang Seokmim lontarkan agar bisa mendapat sedikit waktu lagi dan kembali terlelap. Mata tajam itu terlalu berat walau sekedar dibuka dalam beberapa detik. Seokmin benar-benar tidak bisa menahan rasa kantuknya.

"Seokmin, ayo bangun! Rapat Umum Pemegang Saham hari ini, Seok! Kau yang akan memimpin rapat itu. Jangan sampai terlambat!" Omel Jisoo lagi.

"Astaga, aku tahu!" Seokmin kembali meracau di balik selimutnya. "5 menit lagi, oke? Lagi pula, aku mandi hanya butuh waktu beberapa menit. Tidak seperti kau yang menghabiskan waktu hampir satu jam!"

"Ya! Kenapa aku?"

"Memang begitu, kan? Jika kau mandi-"

"Hhuueeeeee!"

(Tangisan Hayun berhasil menghentikan pertengkaran ringan pasangan suami istri ini.)

Dunia ini yang kumau.

"Selesai rapat, bisa kau segera pulang? Aku ingin makan siang denganmu. Akan aku buatkan masakanan spesial. Bagaimana?"

Sebenarnya tanpa tawaran makanan spesial pun, Seokmin akan pulang ke rumah dengan senang hati. Semakin lama, Jisoo semakin menunjukan sikap hangatnya pada Seokmin. Membuktikan keseriusannya atas beberapa tangisan yang meledak selagi meminta maaf dulu.

"Tentu saja," jawab Seokmin spontan. "Tapi mungkin aku akan terlambat karena rapat sialan ini. Tidak apa, kan?"

Jisoo mengangguk patuh. Selagi menghabiskan sarapan masing-masing, keduanya nampak mengobrol ringan seputar pekerjaan Seokmin dan kegiatan Jisoo selama mengurus Hayun sendirian di apartemen.

Lagi-lagi Seokmin menawarkan seorang pengasuh untuk membantu Jisoo merawat Hayun. Dan Jisoo selalu menolaknya. Wanita itu tidak mau sama sekali menyerahkan tanggung jawabnya kepada orang lain. Hal ini malah membuat Seokmin semakin mencintai istrinya, tentu saja.

Usai menghabiskan sarapan, Seokmin bergegas meraih jasnya untuk bersiap dan menuju kantor secepat mungkin. Ia hampir terlambat jika tak segera bergegas.

"Seok, tunggu!" Cegat Jisoo.

Berlari kecil mendatangi Seokmin, Jisoo merapikan dasi yang menjerat leher suaminya. Lalu memberikan kecupan ringan sebagai ucapan selamat bekerja.

"Hati-hati, Seok. Jangan mengebut, ya."

Seokmin terkekeh. "Kalau aku mengebut dan kecelakaan, kau tetap mau mengurusku, kan?"

"Hey, bicara apa kau?" Protes Jisoo.

Seokmin kembali terkekeh. "Tidak, aku hanya ingin memastikan kalau Lee Jisoo, istriku ini, benar-benar akan setia menungguku. Kalau aku mati, apa kau akan menikah lagi?"

"Ya! Hentikan omong kosongmu itu, Tuan Lee!"

Jisoo semakin geram dibuatnya. Bagaimana bisa laki-laki mancung itu bicara tanpa pikir panjang sama sekali? Sepertinya mulut kotor itu perlu Jisoo perban agar tak kembali meracau seenaknya.

"Hahaha! Baiklah, baiklah... Maafkan aku, ya." Lalu mengulurkan tanggannya untuk mengusap puncak kepala Jisoo. Mencium kening istrinya dengan lembut, tersenyum tipis setelahnya. "Aku sangat mencintaimu, Lee Jisoo. Kau harus ingat itu."

SEOKMIN (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang