"Eh, yang sopan ya!" Bentak Halinka ketika pria berkemeja putih itu seenaknya masuk apartemennya sesaat setelah ia membuka pintu.
Halinka memutar bola mata tak percaya ketika melihat pria yang dibentaknya tadi menyengir lebar tanpa beban apapun.
"Aku bisa laporin ini kalo aku mau!"
"Kamu masih menganggapku orang asing?"
"Iya, dan tepatnya lagi orang asing yang tidak punya sopan santun."
Oow, kemanakah Halinka yang cenderung pemalu dihadapan Arzito?
Senervousnya dia. Sepemalunya dia. Halinka tidak bisa menoleransi apapun yang menurutnya sudah melewati batas. Menurut Halinka semua ada aturannya. Ia bahkan belum sempat bicara apapun apalagi mempersilahkan Arzito masuk tadi. Tapi Arzito langsung nyelonong begitu saja. Apakah cara bertamu memang seperti itu?
Arzito mengangkat kedua tangannya seperti buronan yang menyerah ketika di bekuk polisi, "aku hanya ingin bertamu, oke? Aku tidak akan macam-macam walaupun kita berdua saja."
Sebenarnya Halinka belum kepikiran sampai sana. Ia cuma tidak suka Arzito bertingkah seenaknya sendiri seolah mereka teman dekat yang bebas keluar masuk rumah temannya.
Ketika Arzito melihat Halinka berdiri diam tak menyahut ucapannya tadi, ia pun berbicara lagi, "Halinka, aku bukan orang yang berbahaya. "
"99 % penjahat memang berdusta dulu menjadi orang baik sebelum memulai aksinya."
"Bela diri saja aku tidak bisa, bagaimana aku bisa menyakitimu?"
Halinka berdecih, bagaimana Arzito mengucapkan hal seperti itu. Itu terlihat sedikit bodoh. Hampir semua orang sadar kalau tidak perlu keterampilan bela diri untuk berbuat jahat.
"Aku menggunakan Stuntman di film laga terakhirku," Arzito menutup mulutnya, "ah, sepertinya aku tidak sengaja membocorkan kekuranganku. Aku harap kamu bisa menjaga rahasia itu baik-baik."
Halinka menghela nafas. Ayolah ia bahkan tidak tertarik dengan hal semacam itu.
Kali ini tanpa di suruh, Arzito sudah duduk nyaman di sofa. Lalu ia berkata, "bohong sebenarnya kalau aku kesini hanya untuk bertamu."
Halinka pun mendudukkan dirinya di sofa single di samping sofa panjang yang diduduki Arzito, "Ya terus?"
"Apalagi kalau bukan karena ucapanku di mobil kemarin?"
Sudut kiri bibir Halinka tertarik, sinis. "Kamu serius dengan itu?"
"Aku tidak pernah seserius ini," jawab Arzito sambil tersenyum manis.
Halinka diam tak berekspresi.
Tapi sedetik kemudian Arzito terbahak-bahak, disela tawanya ia berkata,"kamu sepertinya percaya dengan ucapanku tadi. Dan sepertinya lagi-lagi aku kecewa kalau kamu tidak pernah menonton filmku. Asal kamu tahu kalimat tadi adalah salah satu dialognya."
Halinka memutar bola mata, "lalu letak lucunya dimana sampai-sampai kamu tidak bisa berhenti tertawa seperti itu?"
Halinka jadi tahu salah satu kebiasaan dari Arzito. Ia manusia receh dengan mulut bak 'rem blong'. Bibirnya tak pernah tertutup. 'Tersenyum' seolah menjadi teman hidupnya. Jika tidak, bibir itu akan terbuka lebar, mengeluarkan suara beratnya, sedangkan tangannya memukul apapun di depannya, entah itu pahanya sendiri, setir mobil, bahkan lantai. Seremeh apapun hal yang ada di depannya, ia akan bermurah hati tertawa.
Sedangkan Halinka sendiri. Agak sensitif mendengar orang yang tiba-tiba tertawa. Ia sering mendapati orang-orang seperti itu. Tiba-tiba tertawa ketika Halinka berjalan tepat di depan mereka. Dan mereka tak pernah tahu kalau hal seremeh itu menggoreskan luka dan ingatan pahit dikehidupan gadis itu.
"Udah, ih. Berhenti ketawanya. Nggak pegel apa?!"
"Aduh. Maaf-maaf." Arzito masih memegangi perutnya, "sumpah, perutku sampai sakit."
"Ya siapa suruh juga!"
"Nggak tahu. Dari dulu aku emang begini."
Setelah mengucapkan itu, sesaat kemudia raut wajah Arzito herubah. Yang tadinya ceria, langsung tampak kosong. Blank.
Lalu tangan Arzito memegang dagunya, ia tampak berpikir "Emm, kayaknya dulu banget sih nggak gini. Eh, tapi pas aku kecil kayaknya udah. Tapi kayaknya nggak deh. Apa-"
"Oke-oke. Terserah kamu kayak gini sejak kapan."
Arzito pun kembali tersenyum.
Halinka hanya bisa terheran.
"Btw, apartemen kamu nyaman juga. Sejak kapan tinggal disini?" Tanya Arzito.
"Sejak kuliah."
"Udah lama banget berarti ya?"
Halinka hanya mengangguk.
"Sendiri?"
Halinka mengangguk lagi.
"Ar, maaf. Tapi udah malam. Sebaiknya-"
"Ah iya-iya. Aku ngerti." Arzito berdiri, lalu pria itu melihat sesuatu di belakangnya. Rak buku diatas sofa. Setelah itu ia mengambil salah satu buku atau komik koleksi Halinka.
"Aku pinjam ini boleh nggak? Sepertinya bagus." Ucap Arzito sambil membolak-balikkan halaman buku itu. Lalu,
SRAK
Tanpa sengaja, ada seseuatu yang jatuh dari sana. Seperti selembar kertas. Ah bukan, itu adalah sebuah foto.
Wajah Halinka langsung tampak pias. Keringat dingin sudah berancang-rancang keluar dari pori-porinya. Tapi, belum sempat tangannya mengambil barang jatuh itu. Seseorang sudah terlebih dahulu mendahuluinya. Siapa lagi kalau bukan Arzito.
"Dear D, I love you." Ucap Arzito.
Dan Halinka sudah mati berdiri ditempatnya.
[]
11/03/2019
KAMU SEDANG MEMBACA
ONLY HUMAN
أدب نسائيDianggap 'berbeda' karena tak sesuai standar kecantikan yang ada di masyarakat, membuat Halinka menerima banyak tekanan dan hinaan. Binyok, babon, gajah, hingga Bombom_tokoh anak gendut di Ronaldo Wati_ mereka sematkan dibelakang namanya. Hal itu me...