10 | Dia adalah D

1.2K 160 111
                                    

"Hayoloh, foto pacarnya ya?"

Halinka segera merebut foto itu dari tangan Arzito.

"Mau tau aja sih!"

"Kalau bukan pacar emangnya siapa? Sampai dikasih love-love kaya gitu?"

Sumpah ya, Halinka tak tahan dengan wajah Arzito saat ini yang sedang menyeringai menyebalkan.

"Ah, tapi kalau udah pacaran dari dia sekecil ini," Arzito menunjuk foto pemuda belasan tahun di tangan Halinka, " Berarti udah lama dong ya pacarannya. Berapa tahun? Sejak SMP apa SMA? Wah pantesan ngegas mulu waktu aku-"

"Iya, dia pacarku. Puas?"

Ekspresi Arzito masih sama seperti tadi. Menyebalkan.

"Udah ah, pulang sana. Ngapain duduk lagi!" Seru Halinka ketika melihat laki-laki itu duduk lagi di sofa.

"Entar aja. Makin malam makin seru kayanya."

Di kira twitter apa makin malam makin seru?!

"Lagian kamu kok bisa-bisanya sih pindah ke sini? Ya nggak apa-apa sih pindah. Itu hak kamu. Tapi kalau ternyata hobinya suka ngusik hidup orang kan bikin gedek juga meskipun situ artis."

"Rumahku lagi di renovasi. Jadi aku nyewa apartemen temanku yang nggak dipakai."

Oh, pantesan. Soalnya gini loh. Untuk Artis sekelas Arzito, lebih masuk akal untuknya jika memiliki apartemen yang lebih dari ini. Sedangkan apartemen milik Halinka dan yang di tempati Arzito saat ini sangat terlihat sederhana.

"Berapa lama?"

"Kenapa?"

"Ya tanya aja. Kan kamu juga tanya-tanya tadi."

"Kamu ternyata cerewet juga ya,"ucap Arzito sambil tersenyum menatap Halinka.

Setelah mendengar itu, Halinka juga merasa dirinya sudah kelewat batas. Ini Arzito loh, dia bukan teman dekatnya. Seharusnya dia masih sembunyi disisi introvert dirinya saat ini. Tapi entah kenapa, sejak ia kesal melihat Arzito menyerobot masuk ke dalam apartemennya begitu saja, ia jadi tidak merasa terlalu sungkan atau malu ketika berbicara dengan Arzito seperti hari-hari kemarin.

"Minimal tiga bulan lah. Atau bisa juga lebih."

"Kok nggak yakin gitu?"

Ya ampun, ada apa dengan mulut Halinka malam ini?

"Ya kan siapa tau ada yang buat aku betah ada disini."

Tolong, Halinka tidak begitu mengerti dengan kalimat Arzito itu. Ada yang bisa menjelaskan?

"Ini nggak ada niat bikin air apa gitu di dalam gelas atau cangkir?"

Halinka mengusap wajahnya, "haus, pak?"

Arzito mengangguk.

"Itu air kran masih nyala," jawab Halinka sambil menunjuk tempat cuci piring di dapurnya.

Tadinya Halinka ingin membuat Arzito kesal, tapi yang ada malah orang itu sekarang ngakak terpingkal-pingkal. Halinka lupa tentang seberapa receh orang yang ada dihadapannya. Padahal jawaban seperti tadi, kalau dipikir sama orang waras mah nggak ada lucunya sama sekali.

"Nggak sopan juga kamu ya sama orang baru?" Tanya Arzito setelah meredakan tawanya.

"Nggak sopan siapa sama kelakuan situ pas masuk ke sini tadi?!"

Arzito tertawa lagi. Sedangkan Halinka sudah pusing.

"Ya udah aku buatin minum. Tapi janji ya setelah itu pulang!" Ancam Halinka.

"Sebenarnya kalau dibuatin makan aku tambah alhamdulillah loh!"

Halinka melotot, "tambah ngelunjak ya?!"

Arzito meringis.

Beberapa saat kemudian, Halinka sudah menyerahkan secangkir teh hangat ke hadapan Arzito.

"Maaf, nggak ada lagi selain itu."

"Nggak apa-apa. Makasih loh." Arzito pun meminum tehnya.

"Eh, kamu pernah tinggal di Surabaya?"

"Kok tahu?"

"Kan teman kamu pernah bilang waktu itu."

Halinka mengingat kejadian makan siang waktu itu.

"Waktu SMP sih, nggak terlalu lama juga. Kenapa?"

"Nggak. Soalnya kamu udah nggak ada logat Surabayanya sama sekali kalau ngomong. Kalau lagi sama Indah pun gitu."

"Aku sama Indah memang satu SMP. Tapi dulu nggak begitu dekat, bahkan aku cuma tau namanya dia doang. Terus tiba-tiba kita ketemu lagi pas SMA di Jakarta dan jadi dekat. Dan waktu itu kita sama-sama sudah terpengaruh gaya bahasa sini sama teman-teman sekitar."

"Oh, gitu."

"Eh, kamu kesini apa nggak takut Ferry nyariin kamu?"

"Tenang, udah tau kok dia."

"Kenapa nggak diajak kesini juga?"

"Kenapa?" Arziro malah balik nanya.

"Ya kali aja biar rame, " daripada berduaan kaya gini.

"Kirain kamu nggak suka rame-rame?"

Emang, tadi kan cuma basa-basi.

"Nggak usah di ganggu dia mah jam segini. Lagi sibuk nonton upin-ipin."

"Emang ada jam segini?"

"Nggak, HUAHAHAHAHAHAHAHA."

Bu Susi, tolong tenggelamkan saja Halinka saat ini juga. Halinka takut kalau kerecehan Arzito itu menular dan berubah menjadi virus kegilaan.

Ting tong.

Ting tong.

Tiba-tiba saja bel apartemen Halinka berbunyi. Halinka dan Arzito saling berpandangan.

"Apa mungkin Ferry cariin kamu?"

Arziro mengangkat bahu, lalu berkata, "ya udah aku aja yang buka, kalau beneran Ferry kayanya aku juga mau beneran pulang. Udah malam."

Baru sadar kalau sudah malam?

Halinka pun mengangguk. Lalu ia melihat Arzito berjalan menuju pintu, sedangkan dirinya cukup memperhatikan dari sofa tempatnya duduk.

Setelah pintu terbuka. Halinka merasakan dejavu. Bayangan ia dan Indah ketika berada disini. Ketika ia membuka pintu dan terkejut melihat seseorang yang datang tak sesuai dengan bayangannya.

Arzito membalikkan badan, dan Halinka tau betul apa arti ekspresi menyebalkan itu. Sebelah ujung bibirnya tertarik dan sebelah alisnya disisi berlawanan pun terangkat.

"Ternyata bukan Ferry, Lin. Sepertinya ini pac-"

"ARZITOOO!" Halinka berteriak lantang. Sesaat kemudian ia berlari secepat kilat. Beberapa saat ia sudah ada dihadapan Arzito. Tepatnya dia seperti menabrakkan tubuhnya ke laki-laki itu. Tangan kanannya sudah berada diatas bibir laki-laki itu. Halinka membungkam Arzito.

Tapi Halinka sudah tak peduli. Perhatiannya sudah teralihkan dengan sosok pria berambut gondrong yang berdiri didepan pintu, dan pria itu memperhatikan semua yang terjadi dengan tatapan yang tak kalah terkejutnya.

"Istriku ada disini, Lin?"

Tanya pria itu. Pria dengan wajah yang tak pernah berubah dimatanya walaupun seiring kedewasaan itu muncul, kedewasaan yang terus menggerus bayangan pria muda yang ada dipikirannya sejak bertahun-tahun yang lalu.

Dia adalah 'D'.

Dewa. Suami sahabatnya.

26/05/2019

ONLY HUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang