14 | Hiperbola

997 93 8
                                    

"Udah sampai rumah beneran kan?"

"Iya beneran, Lin. Ini gua udah ada dikamar. Mau mandi."

"Kalau ada apa-apa jangan lupa langsung cerita ke gue pokoknya!"

"Ya Allah Ya Tuhanku. Serius, Lin. Gua masih tinggal serumah sama Dewa. Tadi juga pulang bareng. Gua juga masih belum saatnya lahiran. Lu beneran udah ngalahin emak gua aja, sumpah."

"Tante gimana?"

"Gimana apanya?"

"Udah tahu? Emm-maksudnya udah tahu masalah kalian? Gua mau tanya tadi udah nggak sempat. Udah nggak ada kepikiran kesana juga sih. Lu tau sendiri gua udah shok banget tadi."

"Lu baru orang pertama yang kita kasih tahu."

"Tapi, Ndah. Beneran udah nggak bisa diperbaiki lagi?"

"Susah,Lin. Susah. Kayanya lebih mudah buat pisah daripada buat sama-sama."

"Seserius itu ya?"

"Iya. Dari awal gua sama Dewa juga nggak niat mempermainkan pernikahan ini. Kita bukan anak kecil lagi. Kita udah mikirin segala konsekuensinya. Lu tenang aja, Lin. Gua nggak apa-apa kok."

"Iya, gua ngerti," Halinka menarik nafas berat." Ya udah. Yang penting lu jangan banyak pikiran. Jaga kesehatan juga ya?"

"Iya, pasti."

"Gua tutup telfonnya kalau gitu. Gua mau rebahan. Capek."

"Rebahan mulu anjir. Masih sore juga."

"Kan enak, Ndah."

"Bodo amat dah. Gua tutup teleponnya."

"Oke, bye."

Setelah panggilan telepon terputus. Sebagai duta besar komunitas pecinta rebahan, tentu saja Halinka langsung bersiap untuk melakukan ritual yang sangat dicintainya itu. Jujur setelah yang terjadi hari ini, ia ingin sekali mengistirahatkan tubuhnya sekaligus pikirannya.

Tapi,

Tok tok tok

Suara ketukan pintu pun mengurungkan niatnya.

Halinka mengeluh dalam hati. Tapi tak lantas membuat wanita itu tak berniat membukakan pintu untuk tamunya. Karena sebenarnya Halinka sudah menduga siapa yang akan datang.

Dengan langkah malas, wanita itu pun berjalan ke arah pintu dan lantas membukanya.

"TARAAAAA," kantung plastik berwarna putih berukuran besar menggantung tepat di depan wajah Halinka.

"Namaku Halinka, bukan Tara atau siapalah itu."

"Namaku juga Arzito, bukan Sayang atau siapalah itu."

"Siapa juga yang panggil sayang najis."

"Kasar ya kamu?"

"Habisnya cringe  tahu!"

"Hehe."

"Dih."

"Jadi, boleh masuk nggak nih?"

"Nggak."

"Padahal sudah bawa oleh-oleh banyak loh."

"Kan nggak ada yang nyuruh juga loh," jawab Halinka seraya menirukan nada bicara Arzito.

"Kram ini kaki lama-lama berdiri," sindir Arzito.

Halinka pun menggeser tubuhnya. Arzito yang mengerti arti dari gerakan tubuh itu pun tak sungkan untuk masuk kedalam apartemen wanita itu.

"Dari mana sih tadi?" Tanya Arzito sambil mendudukkan tubuhnya di sofa.

"Keluar sama Indah."

"Oh, kirain sama siapa."

"Kenapa emang?"

"Ya nggak apa-apa."

"Kamu kok tahu aku udah pulang?"

"Aku kan cenayang. Masa kamu nggak tahu?"

Halinka memutar bola matanya. Bodo amat dah.

"Nih cobain satu-satu. Harus habis pokoknya," ucap Arzito seraya menyerahkan kantung plastik tadi kepada Indah.

"Kok banyak banget? Aku kan udah bilang nggak usah repot-repot." Ucap Halinka setelah melihat isi dari kantung tersebut yang tak lain adalah beberapa kardus kecil Bakpia Pathok dengan aneka rasa.

"Nggak apa-apa. Buat teman ini, 'kan?"

Jadi Arzito beneran mau berteman dengannya?

"Jadi dari Jogja?" Tanya Halinka.

"Iya, hehe. Maaf ya, oleh-olehnya makanan doang. Nggak sempat belanja yang lain soalnya."

"Ngapain minta maaf? Justru aku yang nggak enak."

Arzito tersenyum, "udah dibilangin santai aja."

"Makasih kalau gitu," ucap Halinka pada akhirnya.

"Masa bilang makasih mukanya masih sepet kaya gitu!"

"Ya kan wajahku emang kaya gini."

Arzito malah tertawa ketika melihat raut wajah wanita di depannya tambah muram, bibir kecilnya mengerucut, tanda bahwa Halinka sama sekali tidak mood  bercanda saat ini. Tapi tetap saja, yang namanya Arzito tidak akan lepas dengan yang namanya tersenyum dan tertawa. Entah bawaan dari lahir atau bagaimana, yang jelas Halinka sampai saat ini masih tak habis pikir dengan kebiasaan lelaki di depannya itu.

"Udah, jangan cemberut gitu. Entar cantiknya hilang."

"Emang nggak cantik kok!"

Astaga, wanita ini. Biasanya wanita kalau di puji cantik itu pasti langsung malu-malu kucing. Lah ini langsung ngegas.

"Sok tahu kamu."

"Ya tahulah. 'Kan tubuh aku ini. Lagian kalau mau muji tuh yang realistis dikit. Soalnya aku udah nggak mempan sama kebohongan manis kaya gitu."

Tuh kan ngegas lagi.

Arzito menggaruk tengkuknya, "ya-ya 'kan... Ah, nggak tahu ah. Bingung ngomong sama kamu."

"Ya maaf. Aku orangnya emang kaya gini."

"Udah bisa ceplas-ceplos ya sekarang. Dulu baru ngobrol dikit udah keluar keringat dingin."

"Ih. Nggak usah diingetin."

"Tuh tuh tuh! Udah netes keringatnya." Goda Arzito sambil menunjuk ke arah kening Halinka.

"Apaan sih!"

"Tuh kan tambah netes ke baju. Habis ini ke lantai. Jangan-jangan habis ini langsung tenggelam ini gedung."

"Hiperbola banget duh."

[].

ONLY HUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang