12 | Mengalihkan

994 106 19
                                    

"Lin, temenin gue?!" Ucap Indah sesaat setelah Halinka membukakan pintu untuk sahabatnya itu.

"Kemana?"

"Belanja."

"Nggak ah. Tobat gue. Lu yang belanja, gue yang pusing."

Wajar Halinka berkata seperti itu. Ia terlalu malas harus mengekori Indah yang kalau belanja pasti semua toko di mall harus ia masuki satu-satu. Indah belum dapat apa-apa, tapi malah Halinka yang sudah dapat sekantong belanjaan. Kasihan nanti nasib dompetnya.

"Janji deh nanti ga bakal oleng. Cari yang pasti-pasti aja."

"Yang pasti-pasti aja menurut lo itu udah pasti hoax, ndah. Ngerti hoax ga lu?."

"Iya iya. HOWAAAK."

"Itu tau."

Tidak menyerah begitu saja. Indah pun mengekori Halinka ke dalam Apartemennya.

"Ih, serius tahu. Gua mau cari perlengkapan baby," ucap Indah.

"Dewa kemana emang?"

"Lagi ada urusan, Lin. Dia nganter gua sampai sini aja tadi. Nanti kita naik taksi. Ya ya ya? Plisss mau?!" Bujuk Indah seraya menampilkan puppy eyes andalannya, hingga membuat orang akan lupa kalau Indah bukanlah remaja lagi mengingat usia, status, dan perut buncitnya. Halinka masih ingat betul wajah sahabatnya ini seperti tak pernah termakan waktu. Rasanya masih sama dengan beberapa tahun lalu ketika dirinya hanya bisa menatap gadis cantik berseragam biru putih yang menjadi primadona di sekolahnya. Hanya nama dan kepopulerannya saja yang dulu ia tahu. Jangankan saling mengenal, bertegur sapa dulu pun tak pernah. Tapi siapa yang sangka kalau saat ini mereka menjadi teman yang sudah lebih dari teman bahkan keluarganya.

"Ya udah. Gua mau mandi dulu tapi." Putus Halinka akhirnya.


***

Halinka sudah selesai mandi. Kini wanita berambut curly itu tengah memoles wajahnya dengan make up. Dengan beberapa sentuhan, kini wajahnya tampak segar. Bibir kecilnya ia polesi dengan lipcream nude yang kelihatan cocok saja dengan cardigan panjang maroon yang ia kenakan. Ditambah baju dalaman berwarna cream dan bawahan skinny jeans hitam guna menunjang penampilannya. Atau bisa dibilang untuk menutupi sedikit 'kekurangannya'. Yah, begitulah cara berpikir wanita itu. Mengenakan pakaian hasil dari pencariannya terkait 'Tips dan trik cara berpakaian agar terlihat lebih langsing'.

Yah, dia masih se-insecure itu.

Apalagi ketika ia berbalik dan melihat sosok sempurna yang menjadi contoh dari kiblat standar kecantikan yang ada di sekitarnya. Berkulit putih, bertubuh tinggi, langsing (dulunya-walaupun kini sedang hamil) rambut lurus panjang, cantik dan glowing hasil dari perpaduan gen bagus dan juga ditambah beberapa layer skincare routine. Sangat shinning, simmering, and splendid.

Jadi, kalau kata anak kekoreaan. Siapakah dirinya yang nugu ini?

***

"Ya ampun, Ndah. Ini kok jadi gua yang ingin borong ini semua. Sumpah, gelap mata gua ada disini."

Tuh kan. Masih beberapa menit sampai ditujuan, Halinka sudah dibuat pusing dengan hasratnya sendiri.

"Bagus dong. Beli aja yang banyak, Lin. Borong kalau bisa. Biar hidup anak gua yang baru melihat dunia nanti langsung damai aman sentosa karena baju yang dibelikan Tantenya membuat dia ga bingung mikirin OOTD lagi. Langsung Fashionable sejak lahir. "

"Enak di elo, ga enak di gua dong. Elu yang buat anak, gua yang tekor." -Apalagi ini anak dari-ah sudahlah.

"Btw, Ndah. Lo kok tiba-tiba mau belanja gini sih? Emang lo udah USG dan tau jenis kelamin anak lo gitu? Perasaan gue belum dikasih tahu apa-apa deh."

Indah tidak langsung menjawab pertanyaan Halinka. Melainkan mengambil dua pasang sepatu dengan warna berbeda, biru dan merah muda, "coba tebak, dari dua sepatu ini, mana yang sekiranya buat anak gua nanti?"

"Dih. Lu pikir gua cenayang?!" Kesal Halinka.

"Jangan ngambek dong." Ucap Indah seraya mencubit pipi Halinka gemas.

"Apaan sih."

"Ututututu sahabatku sayang. Beneran tau. Lo tuh tambah gemesin kalo gini. Coba deh Arzito lihat tampang lo pas gini pasti-"

"APAAN SIH NDAH!" Teriak Halinka agak keras.

"Santai aja kali sis. Nggak mungkin juga orang-orang disini nyangka yang gua maksud tuh dia. Nggak cuma satu orang yang punya nama itu kali." Ucap Indah seraya melihat sekelilingnya yang tak lain adalah pengunjung toko lainnya yang benar-benar tidak mau tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Halinka saja yang terlalu berlebihan.

"Tapi kan, gua emang nggak ada apa-apa sama dia."

"Ya udah kan. Berarti kalau emang nggak ada apa-apa lo nggak perlu sewot gitu. Kecuali lo emang ada something sama dia." Indah tersenyum jahil.

"Ya gua risih aja gitu. "

"Ya maaf, Lin. Gua tau lo emang dari dulu tertutup kalau masalah cowok sama gue. Ya cerita sih. Tapi lo nggak pernah gitu alay kaya gua kalau lagi suka sama orang langsung cerita nggak tahu malu tentang siapa dia, siapa namanya, dan lain-lain. Tapi, Lin. Gua juga mau kali jadi orang yang maksudnya tuh kaya sahabat pada umumnya. Kaya gua yang kalau ada apa-apa misal kaya tadi selalu cerita sama lo, minta pendapat lo, minta saran sama lo. Karena selain sebagai sahabat, lo juga pendengar yang baik. Lo nggak pernah hakimi gua. Lo nggak menyamakan cerita gua dengan cerita orang lain atau lo sendiri yang mungkin terdengar lebih menyedihkan dibanding cerita gua. Jadi gua merasa takut sendiri kalau gua nggak memenuhi kriteria di atas buat tempat lo berbagi."

Entah mengapa, perasaan Halinka sangat tidak nyaman mendengar omongan Indah. Ia mengakui semua itu benar. Ia selalu berusaha menempatkan diri menjadi sahabat yang baik, yang sebagaimana orang lakukan dalam hubungan pertemanan. Tapi tidak untuk sebaliknya. Jikalau pun Halinka benar-benar butuh tempat curhat, itu pun ketika dia ada dalam masalah yang menurutnya bisa dia ceritakan kepada orang lain. Halinka sadar kalau dia sudah membangun benteng untuk dirinya sendiri diam-diam.

Itu pun bukan karena alasan. Karena seperti yang Indah telah ucapkan tadi, Halinka tidak pernah bercerita mengenai kisah percintaannya, bahkan sejak mereka dalam masa remaja yang sangat menyanjung momen seperti itu.

Tak lain karena Halinka harus tau dimana posisinya berada dan kepada siapa iya akan bercerita. Apalagi sejak beberapa tahun setelah mereka lulus SMA dan Halinka harus menelan dua pil pahit sekaligus dalam hidupnya. Antara teman dan seseorang yang ia kagumi sejak bertahun-tahun lamanya. Itu menjadi momen patah hati tak terlupakan bagi dirinya.

"Ya-ya kan lu tahu gue dari dulu emang bodo amatan kalau masalah cowok, ada yang lebih penting buat gue urusin." Jawab Halinka akhirnya.

"Ya masa lu nggak pernah jatuh-"

"Eh bentar dulu, Ndah." Potong Halinka ketika ada notif dari WhatsApp. Sedikit bersyukur sebenarnya. Karena ini bisa jadi alasan untuk mengalihkan pembicaraan mereka.

[].

24/07/2019

ONLY HUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang