Afra memasuki ruang rapat dua menit sebelum dimulai. Ruangan sejuk yang tertata rapi, dengan pemilihan setting meja U-shape memudahkan setiap peserta dapat melihat satu sama lain. Sehingga kesan kekeluargaan lebih terasa, tapi tidak bagi Afra yang notabene dia pegawai baru.Tangannya sedikit dingin dan berkeringat, diperparah oleh pendingin ruangan sentral. Ia mengambil kursi di baris kedua tanpa meja, sedikit membuat nyaman bagi Afra yang tidak terlalu suka tampil dimuka umum.
Moderator membuka rapat diawali dengan safety briefing kemudian mengabsen satu persatu peserta.
"Sebagai orang yang ditunjuk oleh rumah sakit untuk menjadi ketua akreditasi rumah sakit, maka saya sampaikan sesuai permintaan bapak direktur setiap karyawan harus menandatangani surat kesanggupan untuk menyukseskan akreditasi. Dan bagi yang tidak berkenan untuk membantu silahkan mengajukan surat resign besok pagi kebagian HRD."
Beberapa ketentuan tim dan penjelasan tentang akreditasi dibahas sangat mendalam dan rinci. Setiap anggota diberikan buku petunjuk teknis pelaksanaan dan dimintai alamat email untuk dikirimkan soft file.
Afra dengan cekatan mencatat setiap keterangan yang disampaikan, tidak begitu sulit ia mengikuti materi karena selesai sholat zhuhur tadi sudah menyempatkan waktu untuk browsing tentang akreditasi rumah sakit.
Matanya jeli mengikuti slide demi slide. Meski ia agak terganggu beberapa kali matanya bertemu dengan sepasang mata tajam, yang terus memperhatikannya.
Afra mengabaikan sepasang mata itu, karena kebiasaannya memang selalu mengacuhkan orang yang tidak ia kenal.
Dua jam berlalu, akhirnya rapat usai. Karena lapar dan lelah Afra segera berpamitan pada pak Mikha dan mbak Ranti lalu keluar ruang rapat begitu saja.
***
Afra pov
What.. yang bener aja, sumpah ini serius. Wah pemaksaan, pengambilan nama di tim tanpa ditanya bersedia atau nggak. Sekarang disuruh tanda tangan kesanggupan menyukseskan akreditasi, terus kalo nggak mau bikin surat resign.
Aku jadi ingat kata Bapak semalam tentang kebaikan hati owner rumah sakit, "Pemiliknya baik hati apaan pak." Batinku.
Tertt.. tertt
"Assalamu'alaikum."
"Ra, jadi Sabtu ketemuan? Gue kangen sama Lo, pengen denger cerita kerjaan Lo."
"Apaan sih Ka, gue lagi bete nih."
Ini lagi Ervika telepon disaat mood ku turun abis.
"Bete? Napa Lo?" Tanya Ervika.
"Lo inget hari pertama gue ada pegawai yang dipecat. Sekarang gue ditunjuk masuk tim akreditasi secara sepihak, kalo nggak mau harus resign. Ngeselin nggak sih."
"Lhah emang bos kamu segitu nyebelinnya?"
"Gue nggak tau sih gue belum ketemu."
"Terus masalahnya apa Ra?"
"Dasar oneng.. ya sebel aja lah punya pimpinan kayak gitu."
"Emang dia pikir dia itu siapa, bikin aturan nggak jelas, pecat orang sembarangan. Dasar pemimpin arogan.." curhatku terhenti saat aku menubruk bahu seseorang.
"Ra Lo kenapa?"
"Udahan Vika, tar gue telepon balik."
Jawabku gugup.Aku menutup pembicaraan dengan Ervika, bingung mau melarikan diri gitu aja tapi ini tempat kerja, sedangkan siempunya bahu yang aku tabrak masih disitu aja.
Akhirnya pake jurus andalan pasang senyuman manis sebagai permintaan maaf, pasti luluh. Oh big no ternyata mata itu lagi, ini kaki kenapa jadi beku yak?
Aku bernafas lega saat pemilik bahu itu berlalu gitu aja. Dari seragam yang dikenakan sepertinya ia seorang dokter. Oke matanya bagus, lensa mata berwarna hitam pekat dibingkai bulu mata yang lentik. Ya Allah bulu mataku aja nggak selentik itu.
Tapi tidak, kelegaanku enggak berlangsung lama saat aku mendengar gumaman dokter tadi.
"Apa bedanya coba, dia tidak tahu banyak tetapi berani menyimpulkan aku dengan penilaian buruk."
"Astaghfirullah jangan-jangan, itu yang namanya dokter Satriya." Batin ku dengan diiringi genderang jantung membuat nyali ciut.
***
Malam hari dihabiskan Afra dan kak Alma duduk di sofa dan menyaksikan televisi siaran langsung penganugerahan insan muda perubah peradaban yang disiarkan oleh salah satu stasiun TV swasta di Indonesia.
Acara tersebut kolaborasi dengan beberapa negara di seluruh Asia. Ada rasa bangga saat beberapa kategori ada nama-nama anak negeri. Meski sedikit malu kita belum bisa seperti mereka.
"Selamat kepada Dokter Satriya Adna Syakeil, kepada beliau dipersilahkan naik ke podium dan menerima penghargaan Insan Pemberdaya Usia Senja."
Tepuk riuh memenuhi acara televisi tersebut, Afra terbelalak melihat acara tersebut memperlihatkan sosok yang sedang menaiki panggung dengan senyum yang meneduhkan.
"Penghargaan ini karena Allah ta'ala, saya tujukan kepada seluruh kakek nenek di dunia untuk tidak berhenti berkarya, usia senja bukan akhir segalanya tetapi bagaimana menjalani dengan cara terbaik dan memberikan manfaat untuk orang lain. Terima kasih semuanya."
Sambutan dalam hitungan detik tapi mampu membuat Afra ternganga meski dengan predikat nya yang tidak begitu perduli dengan orang lain. Mata itu sama dengan mata yang terus memperhatikan Afra selama rapat berlangsung tadi, sama dengan mata bahu orang yang ditubruk tadi.
"Wah keren hebat bener Satriya sekarang." Kata kak Alma tiba-tiba.
"Kakak tau?" Tanya Afra.
"Iya, Satriya dia pemilik sekaligus direktur rumah sakit kamu kerja dek."
"Kakak kenal?" Afra semakin penasaran.
"Dia teman SMA kakak, ayahnya juga dokter tempat bapak periksa rutin."
"Siapa kak?" Tanya bapak dari ruang baca.
"Itu lho pak si Satriya, anaknya dokter Tejo. Dapat penghargaan di TV. Dia itu direktur di kerjaan Afra lho Pak."
"Wah memang buah jatuh nggak jauh dari pohonnya ya, bener dek pantas saja bos kamu baik orang nak Satriya."
"Bapak dan kak Alma tau? Kok cuma aku yang nggak tau?" Jawab Afra ketus berlalu masuk kamar.
"Lho dek, lha kenapa?"
Pertanyaan Alma sudah tidak didengar, Afra bergelut dengan pemikirannya sendiri "Kenapa sih aku kayak gini, kenapa yang berkaitan dengan dokter Satriya bikin aku aneh. Nggak jelas banget. Jangan-jangan dia dengar waktu Ervika telepon tadi. Kalo dia emang dokter Satriya berarti dia bergumam karena mendengar percakapanku. Oh habis aku." Batin Afra.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
dr. Satriya (Completed)
General FictionShafira Afra, M.Farklin, Apt "Dia pikir dia siapa bikin aturan ga jelas, suka pecat karyawan sesuka hati. Dasar pemimpin arogan." dr. Satriya Adna Syakeil, SpPD "Apa bedanya coba, nggak tau banyak tentang aku tapi dia berani menyimpulkan dengan peni...