Chapter 5

40.5K 2.3K 17
                                    


Satriya pov

Akhir-akhir ini jadwal ku semakin padat, menjadi direktur utama sekaligus owner sebuah rumah sakit sudah membuat waktuku banyak tersita. Ditambah kini aku melanjutkan studi mengambil subspesialis Konsultan Geriatri.

Studi yang lebih spesifik untuk memperdalam segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia usia lanjut atau manula.

Jika meminta bantuan kepada ayahku yang juga kebetulan seorang dokter senior untuk mengurus rumah sakit sepertinya aku nggak sampai hati. Kenapa? Ya karena sudah sepanjang usianya dihabiskan untuk mengabdi di rumah sakit pemerintah. Sekarang saatnya beliau istirahat. Itu saja beliau masih bersikukuh membuka praktek sendiri.

Aku harus semakin memutar otak untuk me re-schedule kegiatanku dua bulan kedepan, apalagi sekarang semua sarana kesehatan harus melalui seleksi akreditasi. Kalian tau apa itu akreditasi rumah sakit?

Akreditasi rumah sakit adalah serangkaian tes yang harus dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan pasien, meningkatkan kualitas/ mutu pelayanan kesehatan.

Coba bayangkan jika tidak ada tes semacam akreditasi mungkin mutu pelayanan kesehatan hanya seadanya sehingga bisa kemungkinan mengancam keselamatan pasien.

Yah ini semua tentang nyawa, kehidupan dan harapan. Dan kami semua dibagian dunia manapun yang bekerja sebagai pelayan kesehatan pasti memiliki dedikasi tinggi untuk hal ini. Kupikir semua tenaga profesional pasti akan melakukan yang terbaik untuk pekerjaannya.

Hari ini setelah dari kampus aku segera kembali ke rumah sakit karena ada rapat perdana tim akreditasi, aku harus hadir tepat waktu.

Sesampainya di rumah sakit aku langsung menuju ruanganku untuk mengambil snelli dan notebook. Saat aku menuju ke ruang rapat dari arah berlawanan aku melihat seseorang yang dari seragamnya sepertinya pegawai ku tapi wajahnya asing.

Dia sangat cantik dan modis mengenakan hijab, wajahnya lembut hampir tanpa riasan. Aku hampir tertegun, aku berusaha tersenyum ramah padanya tapi... Oh ternyata aku dianggap nyamuk lewat.

Dia sama sekali tak melihatku, berlalu begitu saja masuk keruang rapat yang sama akan aku tuju. Jadi penasaran dia memang siapa, dari bagian apa? Segitunya nggak tau siapa aku?

***

Rapat nyaris dimulai, beruntung aku duduk di tempat yang dekat layar proyektor. Cahaya lampu di sekitarku lebih temaram, memberi kesempatan agar dapat mengamati perempuan dengan hijab tadi.

Sepertinya dia tidak begitu suka berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya dia hanya berkutat dengan buku catatan dan kearah moderator yang memulai membuka rapat.

Saat pemaparan tentang akreditasi dimulai ada yang berbeda dengan gadis itu, matanya menatap antusias pada slide proyektor tangannya dengan cekatan mencatat hal-hal penting. Aku melihat ada kesungguhan dan semangat dalam mata itu.

Aku semakin asik memperhatikannya hingga beberapa kali pandangan kami bertemu, sepertinya dia mulai nggak nyaman meski tetap acuh.

Tak kurasa waktu cepat berlalu aku tertarik ingin tau siapa perempuan berhijab itu, dalam ruang rapat yang mulai ramai peserta membubarkan diri aku mencoba mendekat.

Kulihat dia sedang berpamitan dengan Mikha. Aku semakin melebarkan langkah tapi dia sudah pergi. Dengan gontai aku keluar dan menuju tangga darurat seperti biasa.

Baru mendapat beberapa langkah tiba-tiba bahuku ditabrak seseorang dari belakang, kaget minta ampun. Tapi lebih kaget setelah tau siapa yang menabrakku dan kalian tau apa yang ia bicarakan? Ternyata hal buruk tentangku.

Ini sepihak, dia bahkan tidak tau siapa aku. Bukan aku salah dengar, tangga ini sepi kebanyakan peserta lain turun menggunakan lift jadi aku sangat jelas mendengar percakapannya di telepon dengan seseorang.

Aku menggerutu, telingaku semakin merah jika mengingat julukannya untukku "pemimpin arogan". Well perfect ada apa ini?

***

Di usiaku yang semakin matang mungkin seharusnya aku sudah memikirkan untuk menikah, bukanya nggak mau ya tapi banyak orang yang berharap dan menggantungkan hidup padaku. Dan saat ini aku harus memenuhi itu.

Kepentingan untuk segera menikah sepertinya harus dikesampingkan untuk sementara. Boro-boro nikah, calon saja aku belum punya. Kayaknya aku kebanyakan pegang jarum suntik dan lembar resep.

Bukan karena aku jelek ya, wajahku tampan dan tubuhku proposional. Meskipun mataku minus begini dan harus berkacamata, aku pernah menjadi peserta abang none ibu kota.

Banyak perempuan yang mencoba menarik perhatian, tapi saat aku memasang kode merah merekapun mundur teratur. Beberapa kali mencoba pada akhirnya terhempas lagi karena aku jenuh menganggapi kebanyakan dari mereka semakin agresif minta ini itu lah, diantar kesana kemarilah, minta cepat menikah lah, yang ada aku semakin tertekan.

***

Maaf hanya sedikit, semoga kalian suka.

dr. Satriya (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang