Terima kasih untuk kalian yang masih mau membaca tulisanku.. 😄***
Kaki Afra terasa lemas, tapi ia masih tetap berusaha tegar di tempatnya berpijak. Memergoki sepasang manusia yang sedang ber... Entahlah. Afra tidak mengetahui jelas karena tubuh perempuan itu membelakangi Afra menyembunyikan bayang tubuh Satriya.
"Maaf sudah mengganggu, sebaiknya saya permisi." Kata Afra hampir membalikkan badan.
"Shafira ada apa?" Tanya Satriya sambil memberi isyarat kepada perempuan itu untuk menyingkir.
"Tidak dokter, permisi." Suara Afra seperti tercekik di tenggorokan, ia merasa aneh tidak hanya malu tetapi juga rasanya ada yang meninju tepat di jantungnya.
"Jangan begitu Sha, katakan saja." Desak Satriya sambil berdiri mendekati Afra dengan tatapan tajam.
Afra seperti kehilangan kata, ia melirik ke perempuan tinggi yang mengenakan setelan kerja pas di badannya. Perempuan itu cantik, tapi menatap sinis kearah Afra, satu alisnya terangkat seperti menunggu Afra mengucapkan sesuatu.
Dengan terbata Afra berusaha menyampaikan tujuannya datang, disatu sisi ia mulai tidak nyaman merasa terintimidasi oleh kedua orang dihadapannya.
"Ini kenapa rasanya aku yang kepergok, yang macem macem ditempat kerja mereka, kenapa aku yang kena tatapan intimidasi sih?" Batin Afra menghela nafas.
"Eem... Dokter Satriya saya mau konsul, pasien rawat inap mendapat infus sesak nafas." Afra berbicara.
"Betul, carikan saya mau infus itu segera diberikan." Jawab Satriya.
"Tapi tidak masuk formularium dokter, jadi kami tidak punya infus tersebut."
"Terserah bagaimana caranya, infus itu harus ada. Sebelum pasien saya memburuk. Jangan gunakan idealisme kamu ditempat ini." Bentak Satriya.
Perempuan tinggi yang sudah duduk di sofa itu tersenyum mengejek kepada Afra. Rasanya yang sesak nafas bukan saja pasiennya tapi dengan sikap dingin Satriya, Afra juga bisa saja mendapat serangan sesak nafas mendadak.
Afra semakin sebal dengan keadaannya yang seperti orang bodoh. Ia berusaha menegakkan peraturan tetapi sekarang, direkturnya sendiri yang memintanya untuk melanggar.
"Saya berusaha bekerja profesional dokter, ada infus lain yang bisa digunakan untuk sesak nafas sesuai Formularium." Jawab Afra dengan mempertegas suaranya.
Satriya memegang kening, ia berbalik ke meja kerjanya dan mengambil handphone dan menghubungi seseorang.
Afra tau siapa orang yang dihubungi Satriya. Setelah berbicara sebentar Satriya menyerahkan handphonenya kepada Afra. Dengan ragu Afra menerima dan meletakkan di telinganya.
"Iya pak.., baik pak Mikha saya usahakan.., di PT. FHFI ya pak.., ya pak terima kasih." Kata Afra kemudian mengembalikan handphone ke pemiliknya.
" Well see, Seorang Mikha pun menyetujui bukan?" Sindir Satriya.
Afra merasa tertohok, setelah berpamitan ia melangkah lebar menuju logistik farmasi. Dalam hati Afra berkata tak usahlah diambil pusing, toh ini rumah sakit nya sendiri kalau mau bangkrut terserah dia lah.
Sesaat matanya hampir memanas mengingat sikap Satriya yang begitu baik saat perjalanan dari Bandung, berbanding terbalik dengan saat ini. Ditambah senyum merendahkan wanita tadi, Afra kesal sendiri. Ia segera menepis perasaannya, digigit bibir bagian dalamnya untuk menahan tangis. Pantang menangis ditempat kerja. Setidaknya itu yang ia pelajari agar tidak direndahkan orang lain.
***
Sore sepulang dari rumah sakit Afra menemani Bapak mencabut rumput dihalaman depan,
"Pak bunganya sudah mulai mekar ya, anggrek nya juga bagus pak." Kata Afra.
"Iya, karena kamu dan kakakmu mulai sibuk bekerja bapak lebih menyibukkan diri bercocok tanam. Tuh yang ditaman belakang sudah penuh dengan bibit tomat dan cabai."
"Asik ga usah belanja dong pak." Kata Afra bersemangat.
"Belanja ya tetap dek, masak kita cuma makan tomat sama cabai."
"Tar mulutnya kayak cabe ya pak, pedes terus nyakitin orang." Kata Afra sambil terkikik.
"Eh dek bicaranya ya."
Tidak lama mobil Alma memasuki garasi. Kegiatan keduanya terhenti.
"Assalamu'alaikum.. pada berkebun ni?" Kata Alma. Keduanya menjawab salam Alma bersamaan.
"Iya kak, ini si adek dari pulang kerja diem aja. Bapak ajak berkebun, kalo liat bunga sama ikan di kolam kan pikiran biar adem."
"Kenapa dek?"
"Nggak papa kak, biasalah di kerjaan. Kakak tumben pulang cepet." Kata Afra sambil mencium kedua pipi Alma.
"Kerjaan nggak gitu banyak dikantor, jadi pulang cepet pengen ngajak kamu sama bapak makan diluar. Mau?"
"Mau, traktir ya."
"Iya lah, emang ya pegawai baru masih kere mintanya gratisan mulu." Kata Alma diikuti tawa mereka bertiga.
***
Alma memilih de cafe n' resto, suasananya tenang dengan penataan cahaya yang memberikan kesan hangat. Cafe ini nyaman untuk mereka yang berpasangan atau beserta keluarga. Alunan musik jazz memenuhi setiap sudut menambah nuansa romantis.
Bangunan cafe dibuat melingkar dengan taman dan kolam ditengahnya. Bagian taman tidak beratap sehingga sirkulasi udara yang baik memberikan kenyamanan pengunjung.
Setengah jam menunggu makanan yang mereka pesan sudah datang. Tanpa dikomando Afra langsung menyantap hidangan yang disajikan.
Mereka bertiga ngobrol santai sambil menikmati makan malam. Sejak Alma bekerja dan memiliki pendapatan sendiri, ia secara rutin mengajak Bapak dan Afra untuk makan diluar. Kenapa? Karena ia tak mau melihat kedua orang yang disayanginya itu sedih dan kesepian setelah ditinggal ibu mereka.
Ibu meninggal saat kecelakaan dengan truck yang remnya blong. Mobil yang dikendarai Bapak, Ibu dan Afra itu dihantam dari sisi kiri, sehingga ibunya meninggal karena gegar otak setelah dirawat dirumah sakit selama tujuh hari.
Bapak trauma hingga sekarang tidak mau mengendarai mobil sendiri. Sedangkan Afra mengalami patah tulang kaki kiri, dan itu pula yang menyebabkan ia gagal menjadi atlet bulutangkis.
Berapapun biaya yang harus Alma tanggung dan sebanyak apapun waktu yang harus ia berikan untuk keluarganya, ia rela asalkan melihat senyum dan asa diwajah bapak dan Afra.
Yah senyum dan asa itu yang terlihat di wajah bapak dan Afra sekarang.
Alma menuju kasir untuk membayar makanan, sedangkan Afra masih menunggu di meja dan mengedarkan pandangan menikmati suasana.
Tiba-tiba mata Afra melihat seseorang dengan sorot mata tajam. Ya dia Satriya, disampingnya seorang wanita yang tadi bersamanya di kantor. Wajah Satriya tercengang, tapi dengan cepat Afra membuang muka acuh.
Meninggikan benteng hatinya untuk tidak perduli lagi. Setiap jengkal benteng itu ia lumuri dengan sikap ketidakpedulian. Agar siapapun tak bisa mendobrak atau memanjat hatinya.
***
Eh ini ya si Afra hati kok dipanjat, emang pinang.. 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
dr. Satriya (Completed)
General FictionShafira Afra, M.Farklin, Apt "Dia pikir dia siapa bikin aturan ga jelas, suka pecat karyawan sesuka hati. Dasar pemimpin arogan." dr. Satriya Adna Syakeil, SpPD "Apa bedanya coba, nggak tau banyak tentang aku tapi dia berani menyimpulkan dengan peni...