Tepat sebelum berangkat menuju lokasi downhill, Afra menyempatkan video call dengan Alma. Ia pamit pada kakaknya tetapi karena bapak belum pulang dari masjid Afra hanya menitipkan salam. Ia berjanji akan mengusahakan pulang secepatnya dan tidak menginap karena Senin pagi harus kembali bekerja.
Rombongan dua mobil off road dengan bak terbuka itu melaju beriringan menembus sejuknya udara subuh. Disaat mentari mulai memberikan cahyanya dari timur, mereka berhenti sejenak untuk sarapan pagi di sebuah restoran dua puluh empat jam.
Setiap obrolan selalu memiliki nuansa hangat diantara mereka karena baik Afra maupun Ervika memang sudah seperti putri ayah dan bunda Arga. Kedua adik Arga yang turut serta pun tidak pernah keberatan dengan keberadaan dua sahabat Arga. Karena mereka tau, Arga selalu dapat membagi perhatian dan tepat dalam menentukan prioritas.
Arga selalu menjadi supir setia bunda tercinta dan kakak laki-laki yang selalu ada untuk kedua adik perempuannya. Arga akan selalu memberikan pelukan hangat setiap mereka menangisi hal-hal sepele atau menjadi sasaran amukan jika ketiga perempuan istimewanya sedang mengalami kenaikan hormon progesteron ketika mengalami pra menstruasi sindrom, mereka bisa saja sangat emosional, sensitif atau terlalu manja.
Arga memahaminya, itu juga yang membuat Afra dan Ervika nyaman bersahabat dengan Arga. Tanpa mencela, tanpa merendahkan karena Arga dididik untuk menghormati dan melindungi wanita.
***
Inilah mereka setelah tiba di Cihideung, di kaki gunung Salak, di depan hamparan pemandangan sayur dan teh yang menakjubkan.
Mereka bergotong royong berbagi tugas untuk menurunkan perlengkapan downhill. Ternyata kali ini bunda Arga memilih tidak ikut menggowes sepeda, karena merasa sedang kurang enak badan. Alhasil bunda Arga yang bertugas menunggui tas dan perlengkapan rombongan.
Afra sudah siap dengan helm dan pelindung tubuh, sementara Ervika masih sibuk menata rambutnya yang panjang tergerai.
"Ayo Ka buruan, perlu gue bantu?" Kata Afra.
"Bentar, lo semangat banget nggak sabaran."
"Elo nya sih dari tadi lelet banget, yang lain udah pada siap."
"Elo mah enak pake hijab ga harus rempong sama rambut."
"Makanya lo juga pakai hijab dong." Kata Arga dengan menaiki sepeda MTB-nya berhenti dibelakang Ervika.
"Ga, gue udah bilang kan tar kalo gue siap, titik." Kata Ervika dengan menunduk mengumpulkan rambut panjangnya kedepan hingga menutupi wajahnya, lalu mengayunkan kepala kebelakang hingga rambutnya melayang membentuk surai yang mempesona.
Deg. Ada jantung yang berdentam disana, dan terpana melihat keanggunan Vika saat merapikan rambutnya. Tak disadarinya wajahnya mendamba dengan mulut menganga sempurna karena terpana.
Afra yang menyadarinya menggelengkan kepala. Dia menendang ban belakang sepeda Arga dengan pelan tetapi mampu menyentakkan lamunan si pengendara. Arga yang kaget menatap tajam dan menuntut jawab dari Afra melalui ekspresi wajahnya tanpa suara.
"Iler lo tuh, hapus Ga." Desis Afra sambil mendelik pada Arga.
"Arga ileran Ra? Bukanya tadi subuh udah wudhu ya?" Tanya Vika polos.
"Enggak bukan itu." Kata Afra acuh ditambah Arga yang membulatkan mata seperti memberi peringatan pada Afra.
"Perasaan rambut lo baru kemarin aja sebahu sekarang udah panjang lagi ya Ka. Cepet banget numbuhnya." Kata Afra lagi mengalihkan pembicaraan.
"Emang sulap, ini perawatan tau." Ucap Ervika bangga.
"Udah tuh ayah udah didepan." Ajak Arga yang diikuti Afra dan Ervika.
KAMU SEDANG MEMBACA
dr. Satriya (Completed)
General FictionShafira Afra, M.Farklin, Apt "Dia pikir dia siapa bikin aturan ga jelas, suka pecat karyawan sesuka hati. Dasar pemimpin arogan." dr. Satriya Adna Syakeil, SpPD "Apa bedanya coba, nggak tau banyak tentang aku tapi dia berani menyimpulkan dengan peni...