Assalamu'alaikum
Selamat membaca semoga kalian suka.. 😀***
Setelah Satriya memberi perintah kepada bagian keuangan untuk melakukan transfer biaya akomodasi perjalanan dinas Afra, namun anehnya tetap saja Satriya tidak bisa tenang. Ia memutuskan untuk mengirim pesan untuk Afra melalui aplikasi chat.
"Sha pelatihan kelar jam berapa?"
11.18"Ini sedang materi terakhir pak, habis ishoma masih ada acara penutupan. Ada apa pak?"
11.20"Oke, tunggu saya disana."
11.20Afra menerima pesan dengan kebingungan, aneh saja mungkin pak Satriya habis terkena asap menyan tiba-tiba chat ke Afra. Apalagi minta ditunggu. Maksudnya pak Satriya di Bandung gitu kota tempatnya Pelatihan, apa hubungannya minta ditunggu.
Afra bingung dengan permintaan direktur rumah sakit nya. Tapi tetap saja dia patuh, buktinya meski sudah hampir 20 menit acara penutupan selesai, yang ditunggu belum juga datang tapi masih setia menunggu.
Kemudian mobil yang dikendarai Satriya sampai ditempat pelatihan.
"Assalamu'alaikum.. selamat sore pak." Kata Afra.
"Wa'alaikumsalam. Sudah selesai acaranya? Kalau begitu cepat naik." Kata Satriya.
"Maksud bapak? Ini bapak jemput saya?"
"Jangan salah paham kamu, hari ini saya juga ada urusan di Bandung. Cepat naik"
"Yah bapak, mana bisa didalam mobil cuma kita berdua nanti yang ketiganya syaitonirojim pak." Kata Afra.
"Naik sekarang atau kamu nggak usah balik Jakarta sekalian." Perintah Satriya.
"Sebentar pak, saya cari joki." Jawab Afra asal sambil sibuk menelepon seseorang.
"Disuruh naik mobil malah ngomongin joki, emang mau lewat jalur three in one." Batin Satriya.
"Oke pak, temen saya masih ada di hotel pulangnya searah Jakarta." Jawab Afra.
Sekitar lima belas menit menunggu akhirnya orang yang dimaksud datang juga, dia Rina salah satu peserta yang dikenal Afra selama pelatihan.
"Nggak apa nih, ngrepotin nggak." Kata Rina.
"Enggak mbak. Pak ini mbak Rina, peserta pelatihan juga. Boleh nebeng ya pak." Kata Afra.
"Terserah kalo mau jadi setannya." Sahut Satriya keki.
Afra sampai menahan nafas karena ucapan Satriya, dia tidak enak hati pada Rina. Tapi apalah daya, dari pada ia hanya berdua dengan yang belum mahram.. eh ini apa ya kok belum.
***
Jalanan Bandung di petang hari terhitung padat lancar, selama perjalanan mata Satriya kadang melirik Afra yang duduk di kursi belakang melalui kaca depan, sedangkan telinganya asik mencuri dengar obrolan Afra.
Satriya tidak menyangka untuk seorang Afra dengan sikap acuhannya, bisa antusias saat mendengarkan cerita mengenai putra putri Rina.
Ketika mereka sampai di perbatasan Jakarta Rina minta diturunkan. Setelah berbasa-basi sebentar Satriya melanjutkan perjalanan. Saat jam sudah menunjukkan hampir pukul tujuh malam Satriya membelokkan mobilnya menuju salah satu masjid.
"Kita sholat dulu ya." Kata Satriya, Afra hanya mengangguk tapi dalam hati ia tersenyum ada kelegaan yang sulit diucapkan.
Setelah keduanya menyelesaikan kewajiban sebagai seorang hamba, Satriya mengajak Afra menuju salah satu tempat makan yang ada didekat masjid.
"Kamu mau makan apa Sha?"
"Bapak ngajaknya ke rumah makan soto Betawi, ya makannya soto dong pak." Jawab Afra.
Satriya menggaruk tengkuknya merasa seperti orang bego, tapi ia tetap tidak mau kalah.
"Harus ya Sha, jawabnya selalu rumit gitu?"
"Pak dokter Satriya, kenapa sih panggil saya Sha atau Shafira. Ini ya pak semua orang juga tau panggilan saya Afra pak Afra."
Sekali lagi Satriya menggaruk tengkuknya yang nggak gatal, mau gatal gimana kalau keramasnya rajin pakai shampoo anti ketombe yang iklannya aja pakai artis Thailand.
"Emm.. itu sih saya suka panggil kamu Shafira karena menurut saya lebih cocok untuk kamu. Sesuai mata kamu yang hijau."
Deg. Rasanya kok aneh ya. Afra jadi semakin canggung. Ya emang matanya hijau karena dulu nenek buyutnya menikah dengan duta besar negara asing. Tapi cara manggil pak Satriya yang bikin Afra merasa asing.
***
Keesokan paginya Afra bertemu mbak Ranti.
"Afra mulai hari ini sampai 14 hari kedepan kamu di roling ke bagian pengadaan karena pak Mikha hari ini berangkat Umroh."
"Lha kok mendadak ya mbak. Aku nggak ada pengalaman mbak." Tanya Afra.
"Sebenernya pak Mikha udah merencanakan dari dua Minggu yang lalu, kami sudah membuat rekayasa pembagian tugas selama pak Mikha nggak ada, tapi karena kemarin kamunya Pelatihan jadi pak Mikha belum sempat menyampaikan. Lagian pengadaan itu tim jadi banyak yang partisipasi juga." Jelas Ranti.
"Iya deh mbak Insya Allah aku bantu di Tim Pengadaan." Jawab Afra.
"Ya udah setelah selesai urusan rawat inap kamu bisa langsung ke bagian logistik ya."
Langkah Afra berat memikirkan apa yang harus ia hadapi kelak 14 hari kedepan. Bagaimana enggak berat pengadaan obat dan alat kesehatan yang dibutuhkan untuk semua bagian di rumah sakit.
Setiap barang yang dipesan harus melalui suplier resmi, produknya harus resmi lisensi BPOM, jalur pembelian juga harus resmi. Bukan black market, nggak mau kan ada kejadian vaksin abal-abal.
Obat yang dipesan pun harus sesuai dengan formularium rumah sakit, yaitu daftar obat yang disetujui oleh komite farmasi dan terapi. Terdiri dari dokter dan apoteker.
Bagaimana jadinya jika rumah sakit tidak memiliki formularium? Diluar sana jutaan obat beredar di pasaran, harus ada proses seleksi obat apa saja yang boleh digunakan di rumah sakit, dan sesuai Formularium Nasional yang di rilis pemerintah.
Formularium rumah sakit itu harus ditaati oleh dokter sebagai penulis resep dan apoteker sebagai penyedia obat.
Menjelang siang Afra menerima permintaan dari rawat inap, berupa infus untuk sesak nafas yang harganya jutaan rupiah padahal dalam waktu sehari pasien membutuhkan tiga botol.
Kebetulan infus itu juga tidak masuk daftar formularium. Afra segera menghubungi bagian rawat inap
"Kak, ini yang nulis resep infus sesak nafas siapa?" Tanya Afra.
"Dokter Satriya, beliau biasa pakai infus itu dan tidak mau diganti."
Afra segera mengakhiri pembicaraan. Mulutnya terkatup, jemarinya mengetuk meja. Dia berfikir sesaat. Malas sebenarnya harus bertemu dengan dokter yang satu ini. Meskipun kemarin satu mobil pun rasanya masih canggung.
Afra berusaha menghubungi Satriya melalui line telpon rumah sakit tetapi tidak diangkat, Afra memutuskan langsung menuju ruangan direktur yang notabene adalah Satriya.
Ketukan kedua tidak ada jawaban Afra memberanikan diri membuka pintu. Alangkah kagetnya Afra mendapat pertunjukkan yang membuatnya seperti terkena Jab tepat dijantungnya.
Satriya sedang duduk di kursi kerja, sedangkan seorang perempuan berperawakan tinggi berada didepan Satriya dengan sedikit membungkuk. Posisi mereka seperti sedang..
Nyuutt... Kenapa tiba-tiba hati Afra seperti diremas.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
dr. Satriya (Completed)
General FictionShafira Afra, M.Farklin, Apt "Dia pikir dia siapa bikin aturan ga jelas, suka pecat karyawan sesuka hati. Dasar pemimpin arogan." dr. Satriya Adna Syakeil, SpPD "Apa bedanya coba, nggak tau banyak tentang aku tapi dia berani menyimpulkan dengan peni...