Banyak dari orangtua kalian yang mengabaikan anaknya dan lebih memilih pekerjaan mereka. Tak jauh berbeda dengan orangtuaku, mereka sangat sibuk dengan pekerjaannya dan meninggalkan anaknya begitu saja. Ayahku adalah seorang teknisi dan aku hanya pernah melihatnya ketika libur musim panas dan akhir musim dingin tiba. Ibuku hanyalah seorang pedagang sayur dan dia selalu menghabiskan waktunya di kebun yang kami buat di belakang rumah sementara aku terkurung di rumah sepanjang hari.
Kakak-kakakku yang lain sama saja dengan beliau. Kakak pertamaku adalah salah satu tentara negara dan pulang hanya saat liburan atau ketika dia sedang tidak pergi bertugas di suatu tempat. Kakak keduaku adalah seorang dokter negara dan jarang sekali berada di rumah karena dia harus sudah pergi saat pagi buta dan kembali saat larut malam. Kakak ketigaku yang jarak umurnya tidak jauh denganku suka berkebun, jadi dia akan menemani ibuku di kebun. Sekalipun dia berada di rumah, dia hanya akan terus diam. Bicara pun yang keluar hanya kata-kata dingin tak mengenakkan hati.
Ada banyak faktor yang membuatku tertutup dan tak punya teman seperti ini. Faktor pertama adalah letak rumahku. Rumahku sederhana, berada di kaki bukit, dan cukup jauh dari rumah pemukiman terdekat. Jadi, aku tidak memiliki tetangga dan sifat ibuku yang tidak ceria membuat tidak banyak warga dekat dengan keluarga kami.
Faktor keduanya adalah sifat keras ibuku. Ibuku tidak ingin anak-anaknya tumbuh dengan sifat buruk, maka dari itu beliau melindungi kami dari pergaulan dunia luar dengan mengurung kami di rumah. Aku berangkat sekolah selalu tepat pada waktunya, selalu langsung pulang begitu bel pulang sekolah berdentang, dan tidak pernah pergi jalan-jalan dengan teman-temanku.
Faktor ketiganya adalah karena aku sendiri tidak suka dengan orang-orang yang kutemui. Aku tidak begitu mengerti dengan jalan pikir orang-orang luar. Mereka selalu saja lebih mementingkan diri sendiri dan bersikap seolah semuanya bisa didapatkannya asal mereka kaya. Aku juga tidak suka sikap mereka yang selalu seenaknya menilai orang lain dan menjauhi seseorang hanya karena alasan yang bagiku kelewat sepele. Aku tidak suka dengan orang-orang seperti itu, jadi aku tidak akan protes kepada ibuku yang selalu menyuruhku untuk diam di rumah. Aku malah senang.
Satu-satunya teman yang selama ini membuatku tidak kesepian adalah kakak pertamaku. Semenjak aku kecil, Kak Sin (Begitu aku memanggilnya) selalu merawatku dan menemaniku apapun yang terjadi. Meski sejak awal aku jarang bertemu dengannya, aku merasa bahagia jika berada di dekatnya.
Di balik semua masalah itu, ada lagi hal yang lebih penting dan lebih membuatku merasa lebih khawatir. Itu semua terjadi ketika aku baru menginjak usia tujuh tahun. Musim panas kala itu, Kak Sin pulang dan Ayah juga ada di rumah. Saat siang hari di waktu matahari bersinar dengan teriknya di kotaku, aku sedang berada di rumah dan berlatih biola ditemani Kak Sin. Ayah, Ibu, dan Kak Aska berada di kebun dan merawat tanaman di sana. Sementara itu, Kak Halsa sedang di dapur dan memasak makan siang untuk kami sekeluarga.
Hari itu terasa benar-benar terik sampai keringat kami bercucuran biar berada di dalam ruangan. Suhu itu juga membuat segelas esku leleh menjadi air dengan cepat. Meski begitu, aku tetap menghabiskannya karena itu satu-satunya air dingin yang kupunya. Saat tanganku menggapai gelas itu, tiba-tiba mulai dari daerah yang kupegang sampai sekitarnya, muncul bunga es yang tipis dan kecil. Aku jelas merasa panik dan bingung harus berbuat apa. Aku takut kalau kakakku melihatnya dan mulai takut denganku.
"Adel, ada apa?" tanya Kak Sin yang merasa curiga dengan gelagatku yang kelihatan aneh.
"Tidak, kok, Kak! Tidak ada apa-apa!" seruku, berusaha untuk terdengar baik-baik saja dan sebisa mungkin melenyapkan bukti kekacauan yang kulakukan.
"Kalau begitu, ayo lanjutkan latihannya," balas Kak Sin sambil tersenyum dengan ramah, sepertinya tidak sadar tentang hal yang baru saja kulakukan.
Aku pun mengangguk dengan lembut dan mulai melanjutkan latihan biolaku. Aku tutup mataku rapat-rapat dan mulai memainkan sebuah lagu.
"Adel, apa yang kau lakukan?" tanya Kak Sin dengan nada kaget.
Aku berhenti memainkan biolaku dan membuka mataku lalu terdiam karena syok. Ruang yang kugunakan untuk berlatih berubah menjadi ruang salju. Lapisan es tipis memenuhi seluruh permukaan: dinding, langit-langit, jendela, pintu, dan lantai. Bahkan ada beberapa bunga es di sudut ruangan. Aku merasa ingin menangis dan ketakutan. Kenapa aku bisa membuat kekacauan seperti ini?
"Maafkan aku, Kak! Aku tidak tahu apa-apa! Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi! Tolong jangan marah atau takut padaku karena ini. Aku benar-benar minta maaf dan sangat menyesal," tangisku dengan kencang.
Kak Sin hanya tertawa melihat reaksiku yang seperti itu kemudian berkata (setelah berhenti tertawa), "Kamu tidak perlu sedih begitu, Adel. Kakak tidak akan marah atau takut padamu hanya karena ini, kok. Coba nanti kau beritahukan hal ini pada Ayah dan Ibu, mereka pasti akan bangga padamu."
"Aku tidak akan dimarahi, 'kan?" tanyaku masih dengan sedikit terisak.
"Tidak, kok," balas Kak Sin, kali ini disertai senyum menenangkannya seperti biasa dan berhasil membuatku kembali lega.
Kemudian, makan siang bersama tiba. Kak Sin membantuku membereskan kekacauan yang kubuat kemudian pergi ke kebun bersama Kak Halsa sambil membantu beliau membawa beberapa makanan. Saat kami tiba di sana, Ayah sudah menggelar sebuah karpet cukup besar dan kami menata makanan di sana. Setelah semua berkumpul, kami semua makan bersama. Begitu selesai makan, Kak Sin memberi kode kepadaku untuk memberitahukan tentang kekacauan yang kubuat tadi.
"Ayah, Ibu, dan saudariku yang lain, ada hal penting yang ingin dikatakan oleh Adel," kata Kak Sin, membuat perhatian semua anggota keluarga tertuju padaku dan membuatku semakin tidak siap untuk mengatakan kejadian tadi.
"Jadi begini," kataku dengan gugup dan takut dengan reaksi mereka. Lalu, aku mengulurkan tangan ke depan dan dengan susah payah menciptakan es kecil di telapak tanganku.
"Akhirnya!" seru semuanya bersamaan, anehnya dengan nada senang.
"Kalian tidak marah?" tanyaku dengan heran dan masih sedikit ketakutan.
"Untuk apa kami marah? Justru kami senang karena ini artinya kau sama dengan kami," kata Kak Halsa sambil tersenyum manis.
Anggota keluargaku yang lain tersenyum dan mengulurkan tangannya ke depan sepertiku. Kak Aska membuat sebuah bentuk dari gelang emas yang dipakainya, Kak Halsa menyembuhkan dengan cepat luka di lengan Ayah, Ayah melayangkan beberapa peralatan makan, dan Ibu membuat rumput di sampingnya tumbuh tinggi dengan seketika. Aku menatap Kak Sin yang sedang tersenyum misterius kepadaku.
"Bagaimana dengan Kak Sin? Apa kekuatanmu?" tanyaku.
Masih dengan senyum misterius di bibirnya, dia menjawab, "Suatu hari nanti kau juga akan tahu."
Itu kisah singkat ketika aku mengetahui bahwa aku punya kekuatan. Setelah itu, Kak Sin memberiku pelajaran singkat tentang kekuatanku dan sejarah dunia tentang elemen-elemen yang lain selama libur musim panas. Dari situ aku tahu bahwa ada pengguna yang sama dengan diriku di luar sana. Aku jadi ingin bertemu dengannya dan mengobrol banyak tentang kekuatan kami. Aku harap, dia adalah orang yang menyenangkan dan enak untuk diajak ngobrol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forest Academy #WYSCWPD
Teen FictionDi dunia ini, ada sebelas elemen dan 22 pasang pengguna elemen di setiap tahunnya. Demi menghindari terjadinya perang antar pengguna, pemerintah di setiap negara memutuskan untuk mendirikan sebuah pulau ilusi yang hanya bisa dimasuki oleh orang-oran...