The Truth

206 17 1
                                    

"Baiklah, anak-anak. Latihan hari ini akan diisi dengan latih tanding. Peraturannya seperti biasa: dilarang melukai. Bagi yang terkena serangan lawan secara langsung akan dianggap kalah. Dalam hal ini, kerja sama dengan partner kalian adalah hal yang penting dan apabila satu orang terkena serangan, maka satu pasangan tersebut dianggap kalah. Tidak ada sesi pertanyaan dan kita langsung mulai," kata Mr. Seize di waktu olahraga sesi kedua hari itu.

Di Forest Academy, karena jumlah kelas dan muridnya sedikit, maka kami mendapatkan jadwal untuk berolah raga sebanyak dua kali. Pada pertemuan pertama digunakan untuk olahraga biasa, seperti baseball, voli, basket, dan sebagainya. Sementara pada pertemuan kedua digunakan untuk latihan penggunaan kekuatan. Dengar-dengar, latihannya bervariasi. Terkadang, kami dilatih dalam bertarung jarak dekat, kadang dilatih untuk menggunakan kekuatan masing-masing, dan terkadang langsung melakukan latih tanding seperti yang terjadi hari ini.

Awalnya, latih tanding itu berlangsung seperti seharusnya dengan suasana yang tegang dan seru. Aku berjuang sekeras yang kubisa untuk bisa tetap berdiri di atas arena dengan menghindari semua serangan musuh dan menyerang balik sekuat yang kubisa. Karena Mr. Seize menyuruh kami untuk saling melindungi sesama partner, aku tak pernah luput pengawasan dari Zon.

Saat itulah, aku mulai merasa janggal.

Sedari tadi, bocah itu hanya menghindar dari serangan musuh dan setiap kali ada serangan yang tak bisa ia hindari, akulah yang harus menyelamatkannya. Dia sama sekali tidak melakukan serangan dalam bentuk apa pun. Akhirnya, aku memutuskan untuk menanyakan hal itu padanya setelah latih tanding itu berakhir dengan kekalahan pahitku.

"Hei, kenapa kamu tidak berusaha menyerang balik sedikit pun atau melindungi diri dengan kemampuanmu?" tanyaku, berusaha sekeras mungkin untuk menahan amarah.

"Tentang hal itu ...," Zon memberi jeda sejenak sambil menghindari kontak mata secara langsung denganku, "jujur saja, aku ingin memberitahukannya padamu sejak awal, tapi aku menundanya terus sampai waktunya tepat."

"Lalu?" aku melotot padanya.

Dengan senyuman canggung di bibir, dia melanjutkan, "Sebenarnya, aku tak bisa mengendalikan kekuatanku sedikit pun."

Rasanya seperti ada badai yang tiba-tiba menerpaku menerbangkan semua akal sehatku. Aku sangat syok sampai-sampai kehabisan kata-kata untuk mengomentarinya. Aku hanya bisa terdiam dengan mulut terbuka tanpa mengucapkan apa-apa.

Setelah merasa agak tenang, aku pun bertanya, "Jadi, alasan mengapa kau selalu memakai sarung tangan meski pun hari itu panas adalah ..."

"Iya. Aku sering lepas kendali. Ayah menyuruhku untuk memakai sarung tangan supaya aku tidak asal membekukan benda yang kusentuh."

"Ini artinya kau benar-benar tidak bisa mengendalikan kekuatanmu sedikit pun?"

"Maafkan aku," hanya itu yang bisa diucapkannya.

Aku mematung sambil menghela napas dengan sangat sedih. Dalam hati aku berpikir, "Tuhan, kenapa aku harus ditakdirkan berpasangan dengan bocah semerepotkan ini?"

***

Setelah mengetahui kenyataan pahit itu, aku segera membuat jadwal latihan yang padat untuk bisa membuatnya menjadi lebih kuat dalam waktu yang sesingkat mungkin. Aku mendata satu per satu kekuatan yang bisa kugunakan dan cara mengendalikannya untuk memudahkanku mengajari bocah itu. Aku juga membaginya sesuai dengan tingkat kesulitan dan perkiraan lama belajar agar aku bisa mengajari dia dengan rentang waktu yang tepat. Siang maupun malam, di sekolah maupun di asrama, aku mengerjakan itu semua dengan telaten.

Apa aku ini terlalu baik, ya? Padahal, ini salahnya sendiri dan bukan urusanku karena dia terlalu menyepelekan kekuatannya tanpa berusaha berlatih mandiri sedikit pun. Tapi, masalahnya, dia itu partner-ku. Kalau kami tidak bisa sama-sama kuat, maka kami hanya akan sama-sama lemah.

Forest Academy #WYSCWPDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang