Red Ruby Earrings

92 8 0
                                    

Aku memandangi pantulan diriku di cermin. Aku memang suka bermain biola, tapi aku tidak suka dengan gaun glamour yang haarus kukenakan setiap harus tampil ini.

Tok! Tok!

Aku menoleh ke pintu dan melihat Helder berdiri di sana. Dia berkata, "Adel, sudah waktunya."

Aku masih saja murah muram melihat tampilanku di cermin. Tapi, ketika melihat anting-anting ruby berwarna merah yang masih terpasang kokoh di telingaku membuatku tersenyum, meski hanya sedikit. Aku pun mengangguk mantap dan pergi menuju panggung.

Di sana, di hadapanku, ada ratusan pasang mata yang balas menatapku. Mereka terlihat tidak sabar melihat penampilanku. Kak Ton yang juga baru memasuki panggung sudah siap duduk di kursi pianonya. Aku dan Kak Ton bersamaan memberi penghormatan, kemudian aku mengangguk kepadanya. Kak Ton pun bersiap dengan pianonya dan setelah sudah siap, dia balas mengangguk kepadaku.

Aku meletakkan biola itu di atas bahu kiriku dan Kak Ton mulai memainkan pianonya. Di nada bagianku, aku langsung memainkannya dan seperti biasa, semua berjalan dengan lancar. Aku tenggelam dalam permainanku dan akhirnya aku selesai memainkan 10 lagu yang benar-benar membuatku pegal.

"Permainan yang luar biasa, Miss Avsandare," puji salah satu pria tinggi dengan dasi bermotif kotak-kotak usai aku selesai pentas dan hendak meninggakan opera.

Aku menjabat tangannya, menunjukkan senyum terbaikku, dan membalas, "Terimakasih atas pujian Anda, Tuan. Saya senang apabila Anda menikmati permainan saya tadi."

"Adel," kata Helder, mengingatkanku.

"Oh, maaf sekali, Tuan-Tuan dan Nyonya-Nyonya. Saya harus permisi sekarang juga. Terimakasih karena sudah datang pada pertunjukan saya hari ini. Saya akan sangat menantikan kedatangan Anda sekalian di pertunjukan saya berikutnya. Selamat malam," aku berpamitan pada para penontonku itu dengan sopan.

Mereka melepas kepergianku kemudian aku berjalan di bawah cahaya malam bersama Helder. Kota Malmö yang menjadi tempatku melakukan pertunjukan adalah kota yang kelihatan indah di malam hari. Kami memutuskan untuk berjalan sejauh mungkin dan memilih café untuk makan malam setelah Helder mengaku kalau kakinya pegal.

"Ah, Adel!" seorang gadis dengan suara seperti anak kecil melambai kepadaku.

Aku enggak begitu berharap bertemu dengannya, tapi Helder sudah keburu mendekati bocah itu. Aku pun terpaksa ikut dengannya Pada akhirnya, aku duduk di sisi yang sama dengan Kaka sementara Helder duduk di hadapan kami.

"Ngapain kau di sini?" tanyaku, membuka percakapan dengan tidak ramah seperti biasa sembari memotong pancake yang kupesan.

"Aku tadi baru saja menonton pertunjukanmu. Setelah itu, aku mampir kemari dan kebetulan sekali bisa bertemu denganmu," jawab Kakak, senyumnya masih lebar.

"Oh," balasku singkat lalu memasukkan suapan pertama ke mulutku.

"Huh," komentar Kaka sambil menggembungkan pipinya. "Adel itu benar-benar dingin, deh. Aku takjub kamu bisa terlihat elegan di atas panggung, ramah ketika di dalam opera, dan balikmenjadi sedingin es lagi ketika di luar opera."

"Itu pujian atau hinaan?" tanyaku sambil menatapnya tajam.

"Hati-hati dengan bicaramu, Kaka. Begini-begini, si violinis dingin ini sudah menjadi letkol dua di pasukan khusus perdamaian, lho," kata Helder.

Aku langsung melotot kepadanya tanda tidak mau dia bicara soal itu.

"Eh, beneran?!" seru Kaka, dia terlihat semakin takjub. "Katanya dulu kau tidak mau ikut pasuka itu."

Forest Academy #WYSCWPDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang