Aku kembali melirik secarik kertas dalam genggamanku yang berisi daftar belanjaan hari itu sambil menggerutu.
Sial betul nasibku.
Karena bangun terlambat, aku tidak dapat kesempatan memilih tugas rumah dengan saudaraku lainnya. Alhasil, Kak Halsa dapat tugas memasak, Kak Aska membantu Ibu di kebun, Kak Sin pergi menjemput Ayah di bandara, dan aku sebagai anak bungsu harus pergi ke kota membeli bahan makanan di sana. Selera makan anggota keluarga yang berbeda-beda membuat daftar barang yang kubeli jadi makin panjang saja.
Apa mereka lupa kalau aku ini masih terlalu kecil untuk membawa semua itu sendirian? Kenapa tidak ada yang berniat menemaniku ke kota, sih?
"Oke, sayur mayur sudah, buah sudah, sosis sudah, telur sudah, keju sudah. Bagus, tinggal susu saja yang belum terbeli," gumamku, merasa cukup puas karena sebentar lagi tugasku di sini sudah selesai.
Dengan mantap, aku melangkahkan kaki menuju toko yang menyediakan susu. Baru saja melihat antrian yang tercipta di luar toko, semangatku langsung menghilang.
Sebenarnya, aku malas ikut-ikutan berdiri di sana mengantri bersama yang lainnya. Sudah begitu, bawaanku lumayan banyak. Tanganku bisa pegal. Tapi, ini pesanan Kak Aska. Kalau sampai aku tidak membelikannya, dia bakal marah kepadaku untuk waktu yang lama. Anak itu memang pendendam.
Oleh karena itu, aku cuma bisa berdecak kesal atas nasib jelek yang harus kuemban dan berusaha menjejalkan diri bersama pembeli lain yang sudah membentuk antrian berekor panjang itu entah sudah sejak kapan. Setelah menunggu sampai sekitar setengah jam, akhirnya giliranku dilayani pun tiba.
"Tolong sebotol susu sapi segar," pesanku.
"Wah, sayang sekali," kata pelayan toko itu sambil memasang muka penuh penyesalan, "barang itu sudah habis terjual. Yang ada di rak penyimpanan kami tinggal barang yang sudah dipesan. Bagaimana kalau membeli produk kami yang lain saja? Keju? Mentega?"
"Tidak usah," jawabku dengan lesu.
Aku pun menyingkir dari antrian terdepan dengan perasaan kecewa dan bingung. Aku masih diam tak jauh dari toko itu, memutar otak untuk bisa menemukan kalan keluar. Duh, tidak ada! Toko ini adalah satu-satunya tempat yang menjual susu! Gawat, nih. Sepertinya, aku terpaksa pulang dengan tangan kosong dan menerima emosi dari Kak Halsa dengan lapang dada.
"Hei, gadis berambut pirang!"
Aku menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang memanggilku. Di saat aku sudah pupus harapan, datanglah seorang malaikat penyelamat. Rambutnya yang berwarna cokelat gelap bergaya ikal kelihatan berantakan, tapi senyum ramah yang dipajangnya memberinya kesan sebagai anak baik-baik.
"Kau membutuhkan ini, 'kan?" katanya sambil menyodorkan botol berukuran setengah liter yang terisi penuh oleh susu, "kau boleh mengambilnya."
Belum pernah aku sesenang ini melihat susu sebotol!
Tapi, aku berusaha terlihat sopan, jadi basa-basi saja aku menolaknya, "Wah, tidak usah. Aku jadi merepotkanmu. Aku bisa membelinya lain hari, kok."
Di luar dugaan, pemuda itu cukup keras kepala, "Sudahlah, jangan sungkan begitu. Terima saja. Lagipula, tadi aku membelinya cuma karena lagi pingin minum.susu saja, kok. Tak masalah."
Tanpa menunggu aku berkomentar apapun lagi, dia langsung melesakkan susu itu ke salah satu kantong belanjaanku yang masih tersisa ruang untuk dijejali. Aku sudah membawa dua kantong belanjaan dan sekarang keduanya sama-sama sudah penuh sesak.
"Wah, belanjaanmu banyak sekali," komentarnya, "mau kubantu membawakan salah satu?"
"Tidak perlu," tolakku dengan cepat, "aku bisa membawanya sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Forest Academy #WYSCWPD
Teen FictionDi dunia ini, ada sebelas elemen dan 22 pasang pengguna elemen di setiap tahunnya. Demi menghindari terjadinya perang antar pengguna, pemerintah di setiap negara memutuskan untuk mendirikan sebuah pulau ilusi yang hanya bisa dimasuki oleh orang-oran...