"Kau tak gugup?" tanya Zon saat dia sudah menekan bel rumahnya.
"Aku tidak sepertimu, ya," balasku sambil mengerling.
"Nyebelin banget, sih. Padahal aku berniat untuk menghinamu," kata Zon dengan kesal, dia sepertinya benar-benar kecewa.
Kemudian, karena sedari tadi tidak ada tanda-tanda pintu akan dibukakan, maka Zon memutuskan untuk masuk langsung. Sepanjang perjalanan, dia bercerita kepadaku tentang rumahnya. Katanya, meski ayahnya menjabat sebagai pemilik perusahaan, di rumahnya tidak ada satu pun pelayan. Mereka hanya mempekerjakan seorang supir pribadi juga dua penjaga gerbang. Hari ini, ibunya ada di rumah dan ayahnya sedang ada rapat di luar kota. Malam nanti akan pulang.
Dia juga belum mengatakan soal kunjunganku ini, jadi bisa dibilang kedatanganku adalah kejutan untuk ibunya. Yang bisa kutangkap sepanjang kami bicara hanyalah dia begitu bersemangat. Segitunyakah dia ingin memperkenalkan diriku ke keluarganya?
"Ibu?" tanya Zon dengan setengah berseru sambil mengeluarkan dua cangkir teh dari rak. Tidak ada sahutan. "Maaf, ya, sepertinya ibuku sedang tidur. Kemarin malam dia baru pulang dari konser. Pasti dia capek. Kau minum teh dulu, ya."
Aku duduk dan mengamati rumahnya. Memang pantas dia jadi anak direktur. Rumahnya benar-benar besar dan mewah. Padahal hanya ditinggali oleh tiga orang, tapi rumahnya seperti ditempati dua puluh orang saja. Ruang makannya saja berasa di restoran bintang lima. Benar-benar mewah. Aku jadi merasa tidak pantas kalau betulan menikah dengan anak beginian.
"Bagaimana menurutmu soal rumahku? Sepi, ya?" kata Zon sambil menyodorkan teh untukku dengan cangkir indah yang baru kali itu kulihat lalu dia duduk di sampingku.
"Iya, sih," kataku yang baru menyadarinya. "Sayang sekali rumah sebagus ini tidak ramai orang."
"Tenang saja," balas Zon dengan senyum lebar. "Kalau kau tinggal di sini, aku yakin rumahku akan ramai. Nanti keluarga baru kita juga akan tinggal di sini. Pasti rumah jadi ramai dan menyenangkan. Ya?"
"Stop pembicaraan sampai di situ," kataku dengan dingin dan agak jijik. "Aku kemari karena ingin bicara pada ayahmu, 'kan? Jangan percaya diri dulu kalau beliau bakal merestui hubungan kita, bodoh."
"Zon, kau sudah pulang?" dari tangga di sebelah ruang makan turunlah Ny. Juweel dengan muka mengantuk.
"Ah, Ibu. Selamat pagi. Maaf membangunkanmu," balas Zon.
"Tidak apa-apa," balas Ny. Juweel lalu beliau menyeduh teh untuk dirinya. "Aku tadi mendengar suara perempuan. Apa Relly bermain ke sini?"
"Oh, bukan. Aku mengajak Adel ke rumah," kata Zon dengan nada ceria sekali.
Ibunya hanya menggumamkan kata-kata yang tidak terdengar jelas. Sepertinya beliau masih mengantuk. Kemudian, dia meletakkan tehnya di meja dan duduk di sampingku.
Dengan ramah, Ny. Juweel menjabatku dan menyapa, "Selamat pagi, Adel. Santai saja di sini dan anggap seperti rumah sendiri, ya."
"Baik, Tante," balasku agak kaku.
Kemudian, Ny. Juweel tiba-tiba terdiam dan terkejut dengan kehadiranku di sana, "Adel?! Sejak kapan kamu ada di sini?"
"Baru saja, kok, Tante."
"Eh, kenapa kamu mampir ke sini?"
"Jadi, Ibu, aku perkenalkan," kata Zon sambil menggaetku, "mulai hari ini Adel akan jadi tunanganku. Dia datang kemari untuk membiasakan diri hidup dengan keluarga kita. Boleh, 'kan?"
"Ibu tentu saja membolehkan!" balas Ny. Juweel dengan sangat senang, bahkan aku bisa melihat matanya berkaca-kaca. "Kau boleh tinggal di sini selama mungkin, sayang. Tapi, Zon, Ayah mungkin tidak menyutujuinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Forest Academy #WYSCWPD
أدب المراهقينDi dunia ini, ada sebelas elemen dan 22 pasang pengguna elemen di setiap tahunnya. Demi menghindari terjadinya perang antar pengguna, pemerintah di setiap negara memutuskan untuk mendirikan sebuah pulau ilusi yang hanya bisa dimasuki oleh orang-oran...