Start a New Day!

119 7 1
                                    

Seperti yang diperintahkan sekolah, kami harus menjalani tahun terakhir di negara masing-masing, kemudian dibebaskan memilih kuliah di mana pun menyesuaikan minat dan karir kami. Aku yang tidak begitu memusingkan bagaimana karirku ke depannya menurut-nurut saja dengan keputusan Ibu yang menyekolahkanku di SMA yang tak jauh dari rumah. Setidaknya, mengetahui bahwa Helder juga bersekolah di sana membuat persiapan masukku tidak seberat yang kukira.

Sebenarnya, aku sangat tidak suka menarik perhatian orang. Statusku sebagai lulusan Forest Academy saja sudah cukup membuatku mencolok dari sekian banyak orang ini, malah di hari pertamaku aku datang dengan perban di kedua lenganku, hasil mencoba kabur dari jendela di misi terakhir selama liburan pergantian tahun ajaran. Mereka yang belum begitu tau identitasku pun berbisik-bisik, prihatin dengan kondisiku.

Di kelas, meski pun aku mendapatkan tempat duduk di dekat Helder, tetap saja aku kesal karena posisinya yang berada di tengah-tengah kelas. Duh, celotehan apa yang akan kudengarkan nantinya, ya?

Baru juga aku duduk, guru sudah masuk, dan pelajaran dimulai. Di sepanjang pelajaran, aku merasa tidak nyaman. Terakhir kalinya aku menjadi pusat perhatian begini adalah ketika aku datang pertama kali setelah setahun melewatkan tahun pertamaku di Forest Academy. Waktu itu, tatapan yang diarahkan padaku kuat dengan rasa penasaran dan keinginan untuk segera berteman. Aku jauh merasa lebih tidak nyaman dengan yang kali ini karena tatapan itu memancarkan ekspektasi dan ketakutan.

"Biasa saja, dong. Memangnya kenapa kalau aku lulusan Forest Academy? Kalian takut aku akan mengancam dengan kekuatanku? Nggak akan!" pikirku dengan jengkel.

Setiap berganti ruang kelas, aku selalu menempel erat dengan Helder agar tidak ada yang mengusikku.

Setiap kalinya pula, Helder akan berkomentar kepadaku, "Kau nggak akan dapat teman kalau nempel denganku terus, lho."

Lalu, aku juga akan selalu memberikan jawaban yang sama, "Biar. Aku sekolah buat belajar, bukan cari teman."

Itu akan membuatnya memberikan tatapan menegur, tapi Helder memutuskan untuk tidak mendebatku lagi.

Kemudian, tibalah jam makan siang. Sudah lama aku tidak merasakan makan dengan bekal yang kubawa sendiri alih-alih menanti-nantikan menu makan siang apa yang akan sekolah siapkan seperti yang 4 tahun ini kualami. Ibu menyempatkan memasukkan dua potong sandwich ke dalam tasku, tapi aku lupa bagaimana cara menikmati jam makan siang sendirian seperti yang selalu kulakukan di masa SD dulu. Begitu bel berdentang, aku segera siap dengan bekalku, namun Helder sudah mendahuluiku pamit dengan pergi bersama sekelompok teman lamanya.

"Dasar pengkhianat!" aku mengancamnya dalam diam sambil memberinya tatapan tajam.

"Semangat cari teman makan!" dia membalas sambil mengacungkan jempol.

"Adel!" sekerumun gadis langsung mendekatiku, "makan siang dengan kami, yuk!"

Aku beranjak dari kursiku dan berniat menolak tawaran mereka, tapi salah satu dari mereka sudah duluan menggaet lenganku dan aku diseret pergi menuju bangku halaman sambil mendengarkan celotehan super panjang mereka di sepanjang jalan. Tanpa sempat melakukan pembelaan diri apapun, mereka mendudukkanku tepat di tengah dan makan siang bersama mereka dimulai.

"Aku dengar kamu lulusan Forest Academy, apa benar?" Janna, gadis yang kupercayai sebagai ketua dari kelompok itu, menanyaiku hal itu dengan tatapan penuh harap.

"Iya, benar," jawabku tanpa semangat karena aku tau ke mana pembicaraan ini akan berakhir.

"Benarkah?!" sekelompok gadis itu berseru hampir bersamaan dengan wajah terpana yang membuatku tidak nyaman, lalu mulai melempariku komentar beruntun, "bagaimana rasanya sekolah di sana? Beda banget, nggak, sama yang di sini? Kalian belajar apa aja? Yang dari Swedia kamu doang?"

Forest Academy #WYSCWPDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang