Aku merasa senang atas semua ini, begitu pula dengan Zon. Setelah melalui perjalanan panjang selama empat jam, kami sampai di rumahku. Mumpung itu adalah hari libur, jadi semua orang ada di rumah. Ayah, Ibu, kedua kakak perempuanku beserta suami mereka, juga Kak Sin yang belum menikah. Aku meminta Zon menunggu di depan pintu terlebih dahulu sebelum aku meminta izin pada ibuku atas menginapnya Zon di rumahku. Untung saja mereka menyetujuinya dan aku meminta Zon masuk.
"Selamat datang, Nak. Siapa namamu?" tanya Ibu dengan ramah.
"Zon van Gezant, Tante," balas Zon dengan senyum lebar.
"Oh, Zon, ya?" ulang Ibu sambil mengangguk-angguk.
"Wah, bukannya ini Zon? Kau akhirnya datang juga kemari. Ada keperluan apa, nih?" tanya Kak Halsa dengan bersemangat mengerlingkan.
"Ah, itu... aku kebetulan bertemu dengan Adel di kota," Zon mengelus-elus lehernya dengan canggung dan menatap lantai di bawahnya penuh rasa kaku.
"Enggak usah tiba-tiba canggung, deh," kataku sambil mata.
"Adel, tak seharusnya kau berbicara dingin begitu kepada temanmu," tegur Kak Aska.
"Oh, benarkah? Berkacalah dulu, Kak," kataku.
"Adel," tegur Kak Sin. "Kurasa akan lebih baik jika kau menyiapkan teh untuk kami semua dan beberapa cemilan. Biar kami berada di ruang keluarga dan mendengarkan Zon berbicara alasannya untuk kemari."
Zon langsung memucat, keluargaku menggiringnya ke ruang keluarga, dan aku pergi menyiapkan teh untuk kami bersembilan. Aku sebenarnya khawatir. Apa dia akan baik-baik saja? Keluargaku itu memang dingin dan kami jarang banget menerima tamu. Apalagi, kalau tahu bahwa tamunya adalah teman spesial, mereka pasti akan menjahilinya. Semoga saja Zon bisa menghadapi semua anggota keluargaku dengan sabar.
Saat aku kembali ke ruang makan, tempat itu berubah menjadi dingin. Zon yang terlalu gugup ditatap oleh tujuh pasang mata yang menatapnya penuh harap. Pangeran Dingin itu kelihatan kesulitan bicara dan masih pucat seperti tadi. Dia seperti baru bertemu hantu saja. Aku menaruh senampan teh itu ke meja dan ikut melingkar bersama mereka.
Baru saja aku meneguk tehku sekali, aku mendengar suara berkeretak. Kutoleh kanan-kiriku, aku baru sadar kalau ada jejak es di dinding. Sudah pasti dari motifnya bukan aku yang melakukannya, jadi pasti itu buatan Zon. Aku tatap dia. Kelihatan banget kalau keluargaku berhasil memojokkannya. Aku ingin menghentikannya, tapi tunggu beberapa saat lagi sampai mereka mau berhenti sendiri.
Lama aku menunggu, kelihatannya mereka sama sekali tidak ada niatan untuk berhenti. Buktinya, bukan hanya jejak es yang muncul, aku bisa melihat tanaman rambat dari es muncul di langit-langit. Bahkan sekarang mereka hampir mencapai kelima anggota keluargaku. Apa yang mau dia lakukan, sih?
"Hei, sudah, dong! Kasihan Zon," bujukku.
Mereka berlima menatapku balik secara kompak. Mereka sama-sama cekikikan kemudian Kak Halsa berkata, "Baiklah, demi adik kita yang baru punya pacar, kita hentikan saja sampai sini. Lagipula, sudah cukup lama kita mengajaknya bicara."
Zon masih pucat dan dia tidak bisa bicara apa-apa sama sekali. Aku menggeser tempat duduk menjadi di sebelahnya dan berkata, "Maaf, ya. Itu cuma kebiasaan di keluargaku. Kalau kami membawa pacar, pasti keluargaku akan mengajaknya bicara sampai batas kemampuan lawan bicaranya."
"Aku masih ingat tampangnya Christi. Dia beneran menangis waktu itu," kata Kak Halsa lalu dia tertawa geli namun tetap terlihat dewasa.
"Enak, ya. Si Joan mah diapa-apain tetep tampang datar," Kak Aska ikut menimpali lalu dia memasang tampang jahat. "Tapi, besoknya dia jatuh demam dan tidak bangun sampai tiga hari, sih."
"Aku beneran minta maaf, ya. Sudah tradisi dan mereka sangat menikmatinya," aku kembali mengatakannya. "Aku enggak ikut-ikutan, kok, soalnya enggak menarik."
"Kau ini ngomong apa?" tanya Kak Sin, tapi nadanya seperti menyindir. "Justru yang bikin Christi nangis itu kamu, 'kan?"
"Aku memangnya bilang apa, sih? Aku kayaknya cuma tanya biasa, deh," balasku lalu tiba-tiba saja Zon tumbang ke sisiku. "Eh, Zon? Duh, kayaknya dia udah enggak kuat lagi, nih."
***
"Selamat pagi," sapaku pada Zon yang baru saja bangun sambil membetulkan sarung tanganku.
Dia duduk dengan lemas di kursi yang terletak di kebun belakang dan berkata, "Aku semalam mimpi buruk. Pasti gara-gara ucapan kalian kemarin. Kalau dipikir-pikir, enggak heran kamu besar juga jadi seperti iblis begini."
"Jangan sebut adik orang iblis, ya," kata Kak Sin yang baru keluar rumah sambil menjitak kepala Zon pelan. "Wajar saja kalau setiap keluarga punya kebiasaan tersendiri, 'kan? Aku mau membantu dulu, ya. Adel juga siap-siap kalau dipanggil."
"Kalian mau ngapain, sih?" tanya Zon.
"Oh, ini kan musim gugur, jadi kami mau memanen hasil kebun. Sistem kerja di sini disesuaikan dengan kemampuan masing-masing, sih. Aku sendiri jadi yang melindungi kebun. Kalau misalnya ada masalah, aku menjadi orang pertama yang bergerak. Mumpung di rumahku, sekalian membantu, ya. Hitung-hitung membiasakan diri dengan keluargaku. Kau ikut membantuku, ya."
"Membantu bagaimana?" tanyanya.
"Yah, semacam-"
"Adel! Daerah barat laut arah jam 11 memanggilmu, tuh!" panggil Kak Aska.
"Oke!" balasku. "Yuk."
Dengan mudah, aku menginjakkan kaki di atas tanah, membiarkan kakiku diselimuti es, kemudian membentuk pilar dari es, dan menuju daerah yang dimaksud Kak Aska dengan cepat menggunakan jembatan es yang kubuat. Begitu sampai di sana, aku melompat dan menghilangkan jejak es yang kubuat. Setelah aku selesai mengurusi pekerjaan di sana, Zon baru saja tiba di dekatku.
"Lama," komentarku dengan tampang menghina.
"Kau yang terlalu cepat!" balas Zon. "Dasar, bahkan setelah lima tahun tidak ketemu, aku masih saja jauh ketinggalan denganmu. Bagaimana kau bisa sekuat ini, sih?"
"Hm, mungkin karena lingkungan yang memaksaku," balasku lalu ikut membantu pekerja yang lain memanen tanaman. "Sudah sejak kecil aku selalu membantu ibuku di kebun. Jadi, sambil membantu beliau, aku berlatih kekuatanku juga. Sadar-sadar, aku sudah menjadi sekuat itu. Padahal, waktu pertamakali masuk sekolah, aku pikir akan menjadi yang paling lemah."
"Ternyata kamu baik juga, ya," kata Zon benar-benar dengan tampang kagum. "Aku pikir kamu orangnya seenaknya sendiri, ternyata benar-benar mandiri. Aku bakalan senang kalau punya istri sepertimu."
Aku menatapnya dengan agak risih dan berkomentar, "Aku malah khawatir kalau punya suami sepertimu. Mana ada cewek melindungi cowoknya?"
"Kalau begitu, aku akan menjadi juru bicaramu dan urusan lainnya aku serahkan padamu. Bukannya pasangan itu ada untuk saling melengkapi?"
"Kerja!" bentak Kak Aska yang berdiri di belakang Zon sambil menjitaknya. "Aku enggak peduli kalian baru pacaran atau gimana, tapi jangan bermesraan dan lalai pekerjaan. Sudah, kau malah enggak fokus kalau sama Adel terus. Sini, ikut aku mengerjakan bagian di sana."
Kak Aska menyeret Zon pergi secara paksa dan aku yang melihatnya hanya bisa menertawakan nasibnya. Tapi, yah, aku merasa senang karena keluargaku mau menerimanya dengan baik dan Zon pun bisa beradaptasi dengan keluargaku dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forest Academy #WYSCWPD
Novela JuvenilDi dunia ini, ada sebelas elemen dan 22 pasang pengguna elemen di setiap tahunnya. Demi menghindari terjadinya perang antar pengguna, pemerintah di setiap negara memutuskan untuk mendirikan sebuah pulau ilusi yang hanya bisa dimasuki oleh orang-oran...