Keep Your Promise

226 13 3
                                    

"Woi-woi-woi!" seru Kak Aska dengan kasar kepadaku saat kami sedang sibuk di kebun belakang, membantu pekerjaan Ibu mengurus tanaman di sana, "kalau nyiram tanaman tuh yanng benar. Dilihat, dong, kemana kau menyiram. Tuh, udah membanjir sampai kemana-mana."

Aku langsung melihat ke tanaman di hadapanku dan menyadari bahwa air sudah menggenang, bahkan mengalir sampai sepanjang barisan tanaman itu. Aku memukul kepalaku sekali, kemudian berlari untuk mematikan keran itu segera.

Argh, kenapa lagi-lagi wajah itulah yang muncul di kepalaku? Ketika aku tidak sibuk sekali saja, pikiranku akan kembali ke waktu itu, saat dia tiba-tiba mendekatkan bibirnya kepadaku dan—tidak! Aku tidak mau mengakui kalau itu adalah sebuah ciuman!

Apa yang ada di pikiran anak itu, sih? Kenapa tiba-tiba dia melakukan itu kepadaku? Kayak aku bakalan senang menerimanya saja! Lagian, kenapa pula aku nggak bisa menghilangkan ingatan itu dari kepalaku? Capek sendiri aku setiap kali bengong harus melihat reka ulang adegan itu di kepalaku. Bisa gila beneran aku!

"Kenapa kau jadi sering bengong semenjak pulang, sih, Adel?" Tanya Kak Sin sambil membantuku membereskan kekacauan yang kuciptakan.

"Nggak ada apa-apa," jawabku sinis tanpa menatap wajahnya, masih kesal karena aku tetap kepikiran soal kejadian itu.

"Adel, lihat ke sini sebentar," panggilnya.

"Kenapa?" Aku masih tidak beramah tamah, tapi aku tetap menoleh kepadaya.

"Jadi begitu," tiba-tiba saja, Kak Sin menunjukkan muka jail, "apa ciuman pertamamu semengesankan itu sampai kau tidak bisa melupakannya?"

"Itu bukan ciuman!—" aku baru saja mau melakukan ceramah panjang saat menyadari suatu hal, "tunggu, darimana Kak sin bisa tau?"

"Coba tebak," masih dengan ekspresi yang sama, Kak Sin terseyum.

Aku berpikir keras untuk menemukan jawabannya dan merasa sangat malu saat menyadarinya, "Kekuatan Kak Sin itu telepati, ya?!"

"Tepat sekali," Kak Sin mengelus-elus kepalaku sebagai ucapan selamat, "aku bisa membaca pikiran orang yang bertemu pandang denganku."

Aku yang sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi karena tidak bisa membuat penyangkalan semacam apa pun hanya bisa membuka-tutup mulutku tanpa menghasilkan sepatah kata pun.

"Apa itu partner-mu yang selalu kau bicarakan denganku? Seingatku, kau sangat membencinya. Cepat juga hubungan kalian berubah menjadi pacaran."

"Kami tidak berpacaran!" Aku berseru, "sudah, aku mau kembali ke rumah dan mengecek surat saja!"

Aku pun berbalik dan melangkah kembali ke dalam rumah dengan kaki yang menghentak-hentak. Setelah membersihkan tangan dan kakiku, aku ke depan untuk mengambil surat, pura-pura menyibukkan diri dengan menyortir surat-surat itu agar pikiranku tidak melayang kemana-mana.

Seperti biasa, kebanyakan surat ditujukan kepada Ibu. Pasokan sayur, pamflet-pamflet, dan beberapa surat resmi berstempelkan pemerintah. Dari sekian banyak, ada satu surat yang menarik perhatianku yang tak lain ditujukan kepadaku. Memang terkadang aku menemukan surat berlogo Pasukan Perdamaian, tapi warna suratnya tidak pernah biru seperti ini—mengingatkanku pada logo sekolah yang juga berwarna biru.

Karena penasaran, aku pun membacanya di tempat. Kop suratnya saja sudah menyuarakan apa isinya. Ternyata, itu surat dari Pasukan Khusus Alumni. Bisa dibilang, itu adalah surat tugas untukku yang secara implisit memberi perintah agar aku bersedia pergi ke Stockholm pekan depan untuk mengawasi pelaksanaan konferensi laporan doktoral dari dokter-dokter di Skandinavia.

Aku ingin melumat rata kertas ini, deh. Aku bisa menebak betul apa yang sedang terjadi di sini. Pasti Pak Kepala Sekolahlah biang keladi kejadian ini. Meski aku sudah menolaknya dengan tegas, Beliau tetap menyarankan namaku. Karena aku tinggal di Swedia (secara tidak langsung, mungkin juga yang terdekat dengan lokasi kejadian) dan memiliki saudara yang bekerja sebagai dokter (meski aku tidak tau apakah Kak Halsa tergabung dalam konferensi itu atau tidak), Pusat pasti setuju-setuju saja dengan sarannya. Kalau sudah dapat surat panggilan resmi begini, sih, mau tidak mau aku berangkat, kan. Argh, malas sekali aku melakukannya!

Forest Academy #WYSCWPDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang