"Waktu terasa cepat berlalu."
Ungkapan itu ternyata benar adanya. Rasanya baru kemarin kami melalukan upacara masuk semester baru, tiba-tiba saja sekarang sudah November. Ingatanku tentang ulang tahunku tahun lalu masih sejelas siang bolong, tapi sekarang aku sudah akan berhadapan dengan hari ulang tahunku lagi dalam waktu dekat.
Waktu itu, aku cukup bersemangat karena menantikan bagaimana rasanya merayakan ulang tahun tanpa keluarga untuk pertamakalinya. Namun, sekarang, saat aku sudah tau bahwa aku akan merayakannya bersama anak itu, untuk pertamakalinya dalam hidupku pula, aku berharap tanggal 12 Desember itu tidak ada saja.
"Pagi, Adel," sapanya di kelas hari itu.
"Apa?" jawabku, jauh dari nada ramah.
"Kenapa belakangan ini mood-mu jadi jelek lagi, sih?" Tanyanya.
Aku berdecak kesal sebelum memberinya jawaban, "Menurutmu?"
Mengabaikan balasanku, Zon langsung masuk ke tujuan awalnya menyapaku, "Ulang tahunmu nanti, kau ada acara, tidak?"
Tuh, kan. Muncul juga topik ini.
Tanpa menatap wajahnya, aku menjawab, "Maksudmu, ulang tahun kita? Tidak, keluargaku tidak akan datang berkunjung dan aku memang belum merencanakan apa-apa."
"Bagus deh," katanya, senyum kecil yang ditunjukkannya membuatku mendapat firasat buruk, "kalau begitu, rayakan saja denganku."
"Kenapa juga aku harus merayakannya denganmu?"
"Karena ulang tahun kita barengan, 'kan?" Zon keheranan dengan jawabanku, "kenapa reaksimu dingin banget? Padahal, ada banyak cewek yang senang kalau bisa merayakan ulang tahunnya denganku, lho."
"Ya jelas karena aku nggak pingin, kan? Bisa, nggak, sih, satu hari aja, di hari ulang tahunku saja, aku bisa bersenang-senang tanpa pusing mikirin kau?"
"Kalau sikapmu begini terus, kau bakal berakhir nggak punya kawan, lho. Adel si Penyendiri, mau?"
"Adel, peka dikit sama Zon, dong," Hima lagi-lagi seenaknya menyela percakapan kami, "dia tuh juga kesepian selama ulang tahunnya, makanya dia mengajakmu untuk merayakannya bersamamu. Iyakan saja ajakannya, apa susahnya, sih?"
"Aku nggak pernah bilang begitu," Zon melotot pada Hima.
"Terus terang saja nggak papa, lho," Hima mengibas-kibaskan tangannya pada kami, "rayakan saja berdua. Lebih menyenangkan bersama-sama daripada sendirian."
"Nggak usah ikut campur!" Seruku dan Zon bersamaan padanya.
"Galak banget, sih, kalian," Hima pun memonyongkan bibirnya dan berbalik untuk kembali ke urusannya sendiri.
***
Hari Sabtu di Forest Academy diisi dengan kegiatan ekstrakulikuler siswa. Sebelumnya, sebagai anak klub musik, aku akan bergabung dengan anggota lain menghabiskan waktu di ruang musik, memainkan alat musik yang menjadi keahlian masing-masing dari kami sampai sore tiba.
Sayangnya, semenjak masuk kelas 3, anak tahun terakhir seperti kami ini harus berfokus dengan ujian akhir. Biar nantinya kami akan melanjutkan sekolah di tempat yang sama, yaitu Forest Academy, kami tetap diharapkan rajin belajar demi lulus dengan nilai yang memuaskan. Maka dari itu, kalau sebelumnya kami disibukkan dengan kegemaran masing-masing, kini buku dan soal yang menjadi rekan kami menghabiskan waktu.
Untung saja hari ini guru kami berhalangan hadir. Kelas yang dijadwalkan diisi dengan materi berubah menjadi pengerjaan tugas secara individu. Materinya yang sudah kukuasai membuatku bisa meninggalkan kelas lebih cepat, jadi aku bisa menyempatkan diri mampir ke ruang musik sebelum sekolah benar-benar selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forest Academy #WYSCWPD
JugendliteraturDi dunia ini, ada sebelas elemen dan 22 pasang pengguna elemen di setiap tahunnya. Demi menghindari terjadinya perang antar pengguna, pemerintah di setiap negara memutuskan untuk mendirikan sebuah pulau ilusi yang hanya bisa dimasuki oleh orang-oran...