The First Meeting

119 10 1
                                    

Seperti biasa, aku menyempatkan diri mengecek kotak surat untuk memastikan apakah ada surat baru untukku atau tidak. Seperti yang firasatku katakan, memang ada. Hanya saja, untuk pertama kalinya, surat itu berwarna biru khas logo Pasukan Perdamaian. Dalam perjalanan menuju sekolah, aku pun menyempatkan diri membacanya. Rupa-rupanya, itu adalah undangan untuk Rapat Alumni. Namun, berbeda dengan apa yang diceritakan Kepala Sekolah, keterangan acara yang tertulis di sana adalah pengarahan perdana anggota pasukan alumni bagi angkatan 2019—angkatanku. Meski begitu, itu tetaplah wajib untuk semua, seluruh alumni angkatan 2019 tanpa terkecuali.

Aku melipat kembali surat itu dengan rapi dan berjalan ke sekolah dengan senyuman yang lebar.

***

Untuk pertama kalinya, aku datang ke Indonesia dengan surat perintah perjalanan dinas. Karena memiliki keperluan yang sama, keberangkatanku dari Stockholm pun bersamaan dengan Kak Aska yang memasang muka masam karena cuti singkat yang diambilnya.

Setibanya di Jakarta, kami langsung berganti ke penerbangan domestik menuju bandara Juwata Tarakan. Di sana, sudah ada seorang tentara dari Pasukan Alumni yang menjemput kami. Bersama, kami diantar menuju hotel masing-masing. Kak Aska diturunkan di hotel tempat menginap perwakilan negara yang sudah senior sementara aku ditempatkan di hotel bersama dengan teman-teman seangkatanku. Setelah diantar ke kamarku, tentara itu meninggalkanku sendirian. Berhubung lapar, setelah meninggalkan koperku begitu saja, aku langsun turun ke ruang makan.

"Adel!"

Baru juga kaki kananku masuk selangkah ke ruang makan yang luas itu, dari dalam ruangan, tepat di meja paling tengah, seorang gadis dengan rambut kemerahan berlari ke arahku dengan kedua lengan terbuka lebar. Dengan mudah, aku menghindar dari serangan dadakan itu.

"Benar-benar, ya!" Hima menoleh kepadaku dengan mata berkaca-kaca, "kamu ini nggak berubah sedikit pun!"

"Kau sendiri juga masih sama berisiknya," balasku lalu langsung berjalan menuju tempat piring ditata.

Dengan cepat, Hima menyusulku, berdiri di hadapanku dengan senyum yang menyebalkan, dan menudingku, "Kamu kangen denganku, 'kan?"

"Aku sama sekali gak pernah bilang begitu," aku melotot kepadanya.

"Gak papa, Adel," Hima mulai menggelayutiku dengan manja, "aku tau kamu itu pemalu."

"Berisik," aku melepaskan tangannya dengan paksa, "minggir dulu, aku mau makan."

Hima memang tidak menempel denganku lagi, tapi dia tetap berdiri tak jauh-jauh dariku. Aku berniat untuk duduk sendirian, tapi karena semua meja sudah penuh, Hima pun menyeretku agar duduk bersamanya. Sambil mulai menyantap makan malamku, Hima tak henti-hentinya mulai bercerita mengenai kesehariannya selama setahun akhir ini. Aku hanya memberinya respon yang dingin, tapi Hima sama sekali tidak mempermasalahkannya seperti biasa.

"Adel datang juga," Kasai yang baru saja muncul menyapa kami.

"Baru datang?" tanyaku.

"Tidak, aku kemari bareng dengan Hima, kok," jawabnya, "tadi ngobrol sebentar dengan resepsionis."

"Apa ada masalah?" tanya Hima.

"Tidak juga," jawab Kasai, "aku hanya ingin memastikan siapa saja yang belum datang. Kamu sudah ketemu Zon, Adel?"

"Zon sudah datang?" aku meninggikan suara dan meletakkan garpuku ketika mendengar nama itu.

"Belum," Kasai menggeleng, "aku tidak melihat namanya di buku tamu. Kupikir, kamu tau kabarnya. Kalian tidak bertemu lagi sejak kelulusan?"

Kedua bahuku langsung turun dan aku memainkan steak di depanku sambil menjawab, "Mana ada. Kami sama-sama sibuk."

"Tapi, kau sempat menghubunginya, 'kan?"

Forest Academy #WYSCWPDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang