Hard Work

343 4 0
                                    

Liburan usai dan tahun ajaran baru datang. Sama seperti sebelumnya, kembali ke sekolah adalah hal yang berat untuk dilakukan. Hanya saja, kalau sebelumnya, perasaan super enggan itu terjadi karena aku tidak mau berpisah dengan keluargaku (utamanya Kak Sin), kali ini alasannya adalah aku tidak mau melihat wajah anak itu lagi.

Menghabiskan liburan di kampung halaman bersama Helder cukup menyenangkan, aku benar-benar terlena sampai lupa sama sekali dengan sekolahku. Tapi, tetap saja. Tugas musim panas yang diberikan sebelum liburan dan latihan ketat dari kakakku membuatku teringat tempat itu. Apalagi, saat aku mencoba memfokuskan mengkolaborasikan jurus seperti yang Kak Sin ajarkan, aku jadi teringat kejadian di Pertandingan Utama lalu dan konsentrasiku buyar!

"Berhenti merengut," kata Kak Sin saat kami sudah mau berpisah, "itu sudah kejadian lama. Daripada marah melulu, lebih baik kau latihan supaya bisa menang di kesempatan berikutnya."

"Percuma latihan," aku berdecak kesal, "kalau yang kurang latihan itu dia."

"Makanya, sebagai partner-nya, sudah tugasmu untuk mengajarinya, bukan?"

Aku kembali berdecak, "Aku sudah mencoba melakukannya! Tapi, entah ada salah apa sama dia, pas pertandingan tetap aja nggak bisa ngapa-ngapain!"

"Itu kan paling karena dia belum terbiasa saja. Kemarin dia tidak bisa ikut Pertandingan Utama karena kau tidak ada, 'kan? Jadi, yang kemarin itu adalah pertandingan pertama kalian. Wajar, dong, kalau dia gugup."

"Aku enggak, tuh."

"Kan kau sudah sering latih-tanding sama aku."

Aku kehabisan kata-kata untuk menyangkalnya karena sekali lagi, dia berhasil membujukku dengan halus.

"Sudah, ya, Adel," senyumannya yang hangat menjadi pukulan terakhir kepadaku, "kau harus mencoba berbaikan dengannya. Tidak ada bagusnya kalau sampai bertengkar dengan partner sendiri. Kakak akan menunggu perkembangannya darimu."

"Enggak akan," aku memasang muka jijik.

Kak Sin cuma bisa geleng-geleng kepala sambil menghela napas, lalu masuk ke mobil. Setelah melambaikan tangan untuk terakhir kalinya kepadaku, dia pun meninggalkan sekolah dengan cepat.

***

Aku menggunakan usaha terbaikku untuk menghindari Zon. Aku menghindarinya di kantin, pura-pura tak melihatnya selama upacara pembukaan sekolah, dan tidak meliriknya sekali pun selama di kelas. Syukurlah, anak itu sadar diri dan tidak mencoba mendekatiku sekali pun. Ya Tuhan, ini baru hari pertama masuk sekolah, tapi aku sudah merasa capek!

"Audisi?" ulangku, dengan tampang penuh penolakan balik bertanya, "kenapa juga harus aku?"

"Kumohon, Adel!" Eayoung mengatupkan kedua tangannya dan kembali membungkuk, "aku tau sekarang ini kita sudah sama-sama kelas tiga, tapi ini akan menjadi kesempatan terakhirku untuk bisa ikut audisi ini."

"Makanya, kenapa harus aku? Ada adik kelas yang violinist juga, 'kan?"

"Aku sudah meminta bantuannya, tapi dia menolak karena sudah punya pasangan sendiri. Kumohonlah, Adel. Kau satu-satunya harapanku."

Ugh, pasangan es kelas sebelah, Eayoung dan Seonju itu terkenal dinginnya. Mereka berdua anak paling pendiam di kelasnya. Kalau diajak bicara bisanya cuma senyum dan membalas pendek-pendek saja. Meski satu klub musik denganku, kami hampir tidak pernah mengobrol. Saat Kak Ton tidak ada, dia menjadi pendampingku bermain. Caranya bermain piano sangat lembut, beda dengan Kak Ton yang tegas seperti memukul-mukul. Gadis sependiam itu sampai memohon-mohon kepadaku demi menjadi violinist pendampingnya, mana tega aku menolaknya!

"Baiklah, baiklah," aku pun mengalah, "aku bersedia. Kapan latihannya?"

Eayoung lagi-lagi menunjukkan senyuman seperti biasa, tapi mukanya yang bertambah cerah membuatku tau betapa senangnya dia mendengar jawabanku barusan.

Forest Academy #WYSCWPDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang