Next School

374 23 4
                                    

Ini adalah hari-hari paling tidak pasti dalam hidupku. Setelah lulus dari sekolah dasar masing-masing, masih ada beberapa minggu sebelum hari pertama tahun ajaran baru. Saat-saat itu diisi oleh para murid untuk mencari sekolah selanjutnya yang ingin mereka tuju. Di saat seperti itu pula, para murid yang baru lulus tidak punya status sebagai siswa jenjang pendidikan manapun, bukan seorang anak sekolah dasar namun juga bukan seorang murid sekolah menengah pertama.

"Adel, apa kau sudah menentukan sekolah yang ingin kau tuju?" tanya Ibu saat aku sedang makan malam dengan beliau dan Kak Halsa. Aku hanya menggeleng pelan dengan acuh. "Kalau begitu, kau tidak perlu mencari sekolah karena kau harus bersekolah di Indonesia, Forest Academy namanya."

"Kenapa aku harus bersekolah di negara yang jauh begitu?" tanyaku, jelas saja tidak terima.

"Semua pengguna kekuatan di bumi ini harus bersekolah di sana sejak jenjang menengah pertama sampai menengah atas. Kakak-kakakmu dulunya juga bersekolah di sana. Ayah serta Ibu juga lulusan dari sekolah itu."

"Kalau Ibu ingin aku bersekolah di sana, setidaknya beritahu dulu kepadaku rupa sekolah itu," aku kembali berkelit.

"Sekolah itu bagus, kok," kata Kak Halsa dan dia mula bercerita dengan semangat, "Kau pasti betah bersekolah di sana. Itu sekolah paling bagus yang pernah kulihat seumur aku hidup. Tempatnya sangat luas dan fasilitasnya sangat lengkap. Bakat apapun yang kau punya, mulai dari yang paling umum sampai yang paling aneh, pasti bisa kau kembangkan dengan mudahnya di sana. Selain itu, ada tempat latihan khusus untuk melatih kekuatanmu dan arena bertarung yang terletak jauh dari gedung utama. Akan diadakan Pertandingan Utama yang diselenggarakan setiap setahun sekali di sana untuk semua jenjang pendidikan. Pemenangnya akan diberi hadiah yang selalu berbeda di tiap tahunnya dan hadiahnya pasti selalu luar biasa. Sayang banget aku belum pernah memenangkannya sekali pun. Oh, ada kebun buah dan sayurnya juga. Kau bisa menanam segala jenis tanaman di sana. Sekolah itu benar-benar tempat yang luar biasa. Percayalah padaku. Kau pasti ingin kembali ke sana setelah kau lulus dari sekolah itu."

"Hm," balasku dengan nada tidak tertarik dan kemudian aku tersadar sesuatu, "Tunggu sebentar. Kalau aku bersekolah di sekolah itu, bagaimana transportasiku nanti? Juga, dimana aku akan menginap?"

"Ah, iya. Aku lupa menyebutkan. Sekolah itu memiliki asrama di dalamnya juga. Asramanya besar dan semua kebutuhan hidupmu bisa terpenuhi di sana. Kau tidak perlu mengkhawatirkan hal itu."

"Itu artinya, aku tidak akan pulang ke rumah dalam waktu dekat? Aku tidak bisa bertemu dengan Kak Sin setiap hari? Aku hanya seorang diri di sana? Aku tidak mau kalau harus mengalami hal itu!" protesku.

"Kalau kau memang bakal serindu itu, kau boleh membawa foto Kak Sinne ke sana, kok," bujuk Kak Halsa.

"Tidak mau! Aku mau bertemu dengan Kak Sin dulu!" seruku bersikeras.

"Tapi, Sinne baru akan pulang tahun depan. Bagaimana dengan sekolahmu nanti?"

"Kalian pikirkan saja hal itu sendiri. Pokoknya, aku tidak mau meninggalkan rumah ini sampai aku bertemu dan bicara dengan Kak Sin!" balasku lalu aku meninggalkan ruang makan tanpa peduli akan seruan dari Kak Halsa yang memintaku untuk kembali.

***

Akhirnya, selama tahun pertama aku bersekolah di SMP yang terletak di kota terdekat. Ibu sangat terpaksa harus menyekolahkanku di sana dan terlihat terbebani karena harus membayar uang denda yang besar karena aku tidak bersekolah di sekolahku yang seharusnya, Forest Academy.

Sebetulnya, aku merasa kasihan dengan beliau, tapi bagaimana pun juga aku tidak mau berpisah dengan Kak Sin sebelum aku sempat bertemu dengannya. Akhirnya, saat libur musim dingin tiba, Kak Sin pulang ke rumah. Saat itu Ayah tidak pulang, jadi aku tidak sempat berpisah dengan beliau. Tapi, aku lebih mengutamakan untuk berjumpa dengan Kak Sin, jadi aku tidak begitu memikirkannya.

"Lho, Adel, kenapa kau masih di sini?" tanya Kak Sin dengan keheranan ketika melihatku berlari ke arahnya untuk menyambut kepulangannya yang baru saja, "bukannya harusnya kau sudah bersekolah di Forest Academy?"

"Ibu sudah memberitahunya dan memaksanya pergi, tapi Adel mau pergi kalau sudah bertemu denganmu dulu," balas Kak Aska sambil menatapku tajam.

"Dasar kamu ini," Kak Sin geleng-geleng karena sikapku, lalu dia menyeretku ke luar rumah dengan paksa, "Ayo kita bicara berdua di luar dulu."

"Adel, kenapa kamu bersikeras begitu dan membangkang kata-kata Ibu?" tanyanya sambil berkacak pinggang tanpa menanggalkan tatapan jengkelnya padaku, "Apa kau tak kasihan padanya? Ibu harus membayar uang denda karena tidak menyekolahkanmu di sana, lho."

"Aku tahu, kok," balasku dengan tampang datar dan tanpa perasaan bersalah.

"Kalau kau tahu begitu, kenapa kau tetap bersikeras untuk tidak mau bersekolah di sana?"

"Sebenarnya, aku tidak mau bersekolah lagi. Aku tidak mau bertemu dengan orang-orang yang menyebalkan lagi. Sekali pun itu sekolah khusus untuk para pengendali 11 elemen, aku tetap tidak tertarik. Nanti pasti semuanya akan sama saja dengan sekolahku dulu," jawabku dengan muram.

"Jangan bebal begitu," dia mengelus kepalaku dengan lembut, "murid-murid di sekolah itu berasal dari negara yang berbeda-beda. Aku yakin kau pasti akan bertemu dengan teman yang menyenangkan. Lagipula, sistem belajar di sana berbeda dengan di negara kita. Di sana, kau akan belajar dengan partnermu yang memiliki kemampuan sama untuk mempermudah dalam latihan kekuatan. Kau akan berada di kelas yang sama dengannya dan menghabiskan banyak waktu bersama: berlatih bersama dengannya, belajar dengannya, dan akan bertarung bersamanya. Percayalah padaku, orang itu pasti akan membuatmu senang."

"Bagaimana kalau misalnya tidak begitu? Bagaimana kalau misalnya aku masih butuh kehadiran Kak Sin di sana? Apa Kak Sin tidak akan datang untuk menjengukku?" tanyaku dengan nada memohon.

Kak Sin hanya tersenyum tipis dan setelah mempertimbangkannya selama beberapa saat, beliau membuat keputusan, "Aku akan mengunjungimu sebulan sekali, deh."

"Setiap tanggal merah!" Bujukku dan memasang pose memohon.

Kak Sin hanya bisa menghela napas kemudian mengangkat jari kelingkingnya dan berkata, "Baiklah, aku setuju. Aku akan mengunjungimu setiap tanggal merah jika aku tidak ada tugas militer. Sebagai gantinya, kau harus mau berangkat sekolah mulai tahun ajaran depan. Apa kau bisa berjanji?"

Aku awalnya enggan, tapi kemudian aku menunjukkan senyum merelakan, mengaitkan kelingkingku ke kelingkingnya dan membalas, "Baiklah, aku mau pergi ke sekolah mulai tahun ajaran depan."

"Nah, gitu, dong. Bagus, anak baik," kata Kak Sin sambil mengelus-elus kepalaku.

Akhirnya, selama libur musim dingin itu aku habiskan dengan melakukan persiapan untuk pergi ke sekolah itu. Ibu dan Kak Sin mengurusi surat-surat atau kelengkapan dokumen yang kubutuhkan sementara Kak Halsa dan kak Aska membantuku menyiapkan peralatan hidup yang sekiranya kubutuhkan selama tinggal di sana. Tepat setelah tahun ajaran baru selesai, Ibu mengantarku ke Indonesia.

Forest Academy #WYSCWPDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang