As Bad as I Say

498 21 2
                                    

Dengan malas, aku memainkan pensil di tanganku. Sekarang aku sudah kelas enam SD dan entah kenapa aku merasa semakin kesal dengan kehidupan sekolahku. Semakin bertambah usia seseorang, bukannya semakin dewasa ia, justru semakin parah sifatnya. Teman-teman sekelasku itulah contohnya. Mereka masih saja bersikap egois dan memainkan permainan bernama "penindasan" dengan peraturan buatan mereka yang benar-benar membuatku tidak tahan.

Seperti biasa, aku tetap tidak punya teman dan menghabiskan waktuku dengan menyendiri. Entah itu memainkan biola di ruang musik, membaca buku di perpustakaan, melihat permainan basket di aula sekolah, atau melukis di ruang seni. Sejak aku tahu kalau aku punya kekuatan, semua anggota keluargaku selalu mengingatkanku untuk tidak sembarangan membicarakan soal kekuatanku pada orang lain atau tentang fakta bahwa seluruh anggota keluargaku juga memiliki kekuatan.

Mungkin ada beberapa dari kalian yang bertanya-tanya dan merasa penasaran dengan kelasku. Seburuk apa, sih, kelasku sampai aku sangat muak dengannya?

Oke, aku akan bercerita.

Seperti biasa, hari ini pun aku diam di kelas ketika jam pelajaran kosong dan termenung menatap keluar jendela penuh rasa bosan. Berhubung yang mengajar kala itu seharusnya wali kelas kami, ketua kelas kami menyarankan untuk pelajaran di hari itu diisi dengan membahas festival olahraga bulan depan saja. Yang memimpin rapat adalah ketua kelas dan aku sama sekali tidak tertarik dengan acara itu karena sudah pasti Ibu tak membolehkanku untuk ikut serta.

"Kita membutuhkan satu orang pelari cowok, satu orang pelari cewek, satu tim basket cowok, satu tim voli, dan satu tim untuk lari marathon. Kalau begitu, aku langsung bagi saja. Untuk pelari cowoknya...,"

Aku hanya menghela napas dan tidak mendengarkan ucapan si Ketua. Jujur, sebenarnya aku merasa kesepian. Untuk manusia lain, mereka pasti merasa senang dengan kegiatan seperti ini karena mereka bisa menunjukkan pada orang tua mereka akan kemenangan mereka atau berbangga dengan kelas masing-masing pada temannya yang lain. Aku tidak bisa begitu. Ibuku tidak bangga sekalipun aku menjadi pemenang pertama dari seluruh kelas. Beliau akan lebih bangga jika aku berhasil mengendalikan kekuatanku yang masih labil ini. Lagipula, aku tidak punya teman satu pun untuk diajak bicara tentang kemenangan. Sedih sekali.

"Adel! Adel Avsandare!" seru ketua kelasku dengan kesal dan aku langsung tersadar dari lamunanku. "Apa kau mendengarkan kataku barusan? Tidak, 'kan? Kalau begitu, kau dapat bagian sebagai pelari cewek."

"Eh, kenapa harus aku?" protesku sambil beranjak dari bangkuku.

"Pokoknya kau yang jadi pelari. Lagipula, nilai olahragamu termasuk baik di kelas. Tidak ada protes lagi."

Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat dan berusaha menahan diri. Ingin rasanya aku mengubahnya menjadi patung es. Jangan seenaknya menunjukku sebagai pelari, ya! Memangnya dia pikir aku tidak punya kerjaan lain, apa?

"Baik, karena semua tugas sudah dibagi dan tidak ada yang mengeluh, kita bisa memulai latihannya minggu ini. Setiap hari Sabtu sepulang sekolah dan Minggu pagi kita berkumpul di sekolah dan berlatih bersama."

"Aku tidak bisa ikut," tolakku dengan cepat.

"Kenapa kau tidak bisa ikut?" balas Ketua dengan kesal, sepertinya dia sudah capek mendengar alasan kliseku. "Apa ibumu akan melarangmu pergi lagi? Ini demi kelas, apa kau tidak bisa membujuk beliau untuk mengizinkanmu berlatih dengan kami?"

"Aku tidak perlu menjawabnya karena kau sudah tahu jawabannya, bukan?" balasku dengan tampang datar dan tak merasa bersalah. "Aku akan berlatih sendiri di rumah. Kau boleh percaya padaku bahwa aku akan memenangkan lomba ini. Tenang saja."

"Keluargamu itu ketat banget, sih. Apa kamu senang dengan keluarga yang sangat tertutup seperti itu?" tanya seorang gadis.

"Aku bahagia saja dengan hal itu karena aku percaya apapun yang Ibu putuskan padaku adalah hal yang baik. Jadi, aku tidak akan protes."

Dalam hati aku berpikir, "Sebenarnya, sih, aku senang karena dengan begitu aku tidak perlu berurusan dengan orang-orang yang menyebalkan seperti kalian."

"Kalau aku, sih, jelas enggak tahan dan protes pada ibuku. Hidup ini kan hidupku dan yang menjalaninya kan aku, buat apa dia ikut campur?"

"Sekali pun yang dikatakan ibumu jauh lebih baik dan benar dari pendapatmu?" tanyaku dan seketika mereka langsung terdiam dan menatapku tajam penuh rasa tidak suka.

"Kau ini ketus banget, sih. Kalau kau terus bersikap begitu, kau tidak akan pernah dapat teman, lho. Sekarang saja kau sendirian dan cuma bisa pergi ke perpustakaan untuk membaca buku. Suram banget, hahaha!"

"Kurasa itu lebih baik daripada berteman dengan orang seperti kalian."

"Apa katamu?!" cewek itu beranjak dari bangkunya dengan kesal. "Jangan bicara seolah kau lebih baik daripada kita! Menghabiskan masa muda hanya dengan menyendiri dan berjalan tak tentu arah seperti itu sangat tidak berguna! Harusnya masa muda itu digunakan untuk bersenang-senang, dasar sombong!"

"Bukannya kalau digunakan untuk bersenang-senang justru lebih membuang waktu, tenaga, dan uang, ya?"

"Ketus amat, sih, jawabanmu! Bilang saja kalau kamu itu iri, 'kan? Tinggal di kaki bukit tanpa tetangga maupun teman, selalu sendiri kemana pun pergi, dan tidak punya orang lain untuk diajak bicara, justru lebih menyedihkan kalau seperti itu."

"Aku bahagia dengan keluargaku yang seperti itu. Kalau kau iri, tak usah usik keluargaku atau ambil pusing tentang sikapku."

"Jelas aku harus ikut komentar! Kau ini jadi cewek nyebelin banget. Bisanya hanya diam dan sekalipun bicara hanya kata-kata dingin yang keluar. Kau juga tidak pernah ikut kumpul-kumpul anak kelas. Jangan sombong dan merasa lebih baik dari kita begitu, deh. Ngeselin tahu, enggak? Aku jadi jijik dengan sikapmu yang seperti itu."

Aku tidak membalasnya, tapi kekesalanku memuncak. Aku menggebrak meja dan bangkit dengan kesal. Lalu, terjadi suatu hal mengerikan yang diluar kendaliku. Tiba-tiba saja badai es menerpa dan mengobrak-abrik isi kelas. Teman-temanku berteriak ketakutan, ada yang tertimpa meja, terhempas ke dinding, terluka karena es yang kulancarkan, atau tertimpa buku-buku yang diterbangkan badai yang kuciptakan. Namun, mereka semua sama-sama menatapku dengan ketakutan.

Teeng-Teeng.

Baguslah, bel tanda pulang sekolah sudah berdentang. Secepat mungkin, aku mengayunkan kakiku menjauhi sekolah dan kembali ke rumah. Sampai di rumah, aku langsung masuk ke kamarku dan mengunci pintu. Dalam hati aku merasa takut. Pasti mereka akan lebih membenciku dan besok aku akan ditindas oleh teman sekelas. Namun, di balik semua itu, aku lebih takut dengan kekuatanku. Ketika aku lepas kendali, aku bisa menciptakan badai sekeras itu. Sampai sebesar apa kekuatanku nantinya?

***

Pagi pun tiba saat aku tidak menyadarinya. Pagi ini, aku menyiapkan diri menuju sekolah dengan cara yang sedikit berbeda. Tasku kupenuhi dengan beberapa kantong plastik dan tisu. Itu untuk membereskan kekacauan yang mungkin akan dilakukan oleh teman-temanku. Benar saja. Ketika aku sampai di sana, semua memperlakukanku dengan cara yang berbeda meski menurutku masih sama cueknya dengan biasanya, sih.

Aku hanya tersenyum dan dengan santainya menghadapi itu dengan tenang. Aku tidak peduli mereka mau menjauhiku, mencaciku, atau menjahiliku sampai seperti apapun karena aku masih tahan. Pertahanan batinku lebih kuat daripada siapa pun karena sudah seumur hidup aku diabaikan. Hanya diabaikan oleh orang-orang yang tak kuharapkan kasih sayang dari mereka tidak akan membuatku merasa sedih.

Pada akhirnya, target terakhir penindasan di kelasku adalah aku. Kenangan terakhir yang buruk dan aku tak mau kejadian itu terulang ketika aku di sekolah selanjutnya nanti.

***

Forest Academy #WYSCWPDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang