Tembok berwarna putih yang dilabur kapur tampak mulai retak. Beberapa sudut dindingnya malah terlihat lembab dan basah. Suhu panas Surabaya bahkan tidak ada apa-apanya dibandingkan tempat ini, ventilasinya bahkan tak selebar yang dibutuhkan. Pencahayaannya juga tidak maksimal. Namun anehnya, masih terlihat tempelan hiasan dinding, pita-pita, coretan pada papan tulis usang dan sebagian tercoret pada dinding. Seperti ada kegiatan yang pernah dilakukan di tempat ini.
Drupadi menghela nafas berkali-kali. Heran dengan keberadaan anak-anak yang kini sibuk bernyanyi. Salah satu dari mereka memainkan ukulele, sisanya menjadi paduan suara yang menyanyikan lagu yang belum sepantasnya mereka nyanyikan.
"Aku mau makan, kuingat kamu. Aku mau tidur, kuingat kamu. Oh, cinta.... Mengapa semua serba kamu...."
Drupadi seakan disambut lirik yang menyinggung keadaan hatinya saat ini. Miris sekali memikirkan seseorang yang satu bulan ini tidak bersua. Bahkan kabarnya wisuda akan digelar minggu depan. Memang sudah jalannya Drupadi berpisah dengan Ardan. Semakin cepat semakin baik sebelum dia benar-benar menaruh perhatian lebih pada pemuda itu.
Pemuda yang mungkin sudah menemukan jodohnya sebelum datang di kota ini.
"Dru, geser sini."
Amelia terlihat serius berbicara dengan salah satu pegawai dinas sosial, sementara Kamila memberi ruang Drupadi untuk bergeser ke arah pintu. Ruangan terasa sangat engap, dan sepertinya Kamila mulai terlihat resah.
"Mbak Ila, keluar aja ya? Kliatan pucet loh." Drupadi menatap wajah kakak kelas satu tingkat di atasnya tersebut.
"Gerah banget, Dru. Sopan gak ya keluar duluan? Kasian Mbak Amel."
"Keluar aja gak apa-apa, Mbak Amel pasti ngerti kok. Yuk, Mbak."
Drupadi melihat Amelia masih sibuk membicarakan perijinan Program Rumah Anak Jalanan yang akan dijalankan di salah satu wilayah slum kota Surabaya. Bertemu dengan anak-anak itu membuat Drupadi mengerti apa itu bersyukur. Dilihatnya rumah-rumah kardus dipisahkan dari rumah elite hanya oleh sebuah sungai berarus kecil dengan sampah-sampah yang siap membuntu kapan saja saat hujan datang.
Ah, ingatkan Drupadi untuk menyegerakan sholatnya. Dia ingin berterimakasih pada Gusti Allah yang telah memberikan nikmat tiada tara selama ia hidup.
"Udah mendingan, Mbak Ila?"
Kamila mengangguk. Perempuan berhijab itu terlihat mengipasi wajah. Kerudungnya sengaja dikibaskan untuk menggantikan kipas.
Kamila Anugrahandina, perempuan dengan wajah semi oriental namun muslim itu sempat mencuri perhatian Faraz ketika mereka tidak sengaja bertemu di rumah Drupadi. Sebenarnya adik Narendra itu mau mengenalkan lebih lanjut kakak kelasnya tersebut pada Faraz tapi diurungkan karena kata Narendra, Faraz baru pendekatan ke Rea. Kan mubazir kalau begitu. Mending tidak usah dilanjut biro jodoh ala Drupadi, daripada ada yang patah hati.
Kling! Sebuah pesan masuk, dari Narendra.
Dek, pulang jam berapa?
Drupadi membalas pesan sang kakak, dilihatnya sekilas jam tangan.
Jam tiga mas, gimana?
Tak butuh waktu lama balasanpun datang.
Ikut mas ya. Papah pesawatnya delay dari Batam. Nanti kujemput di kampus.
Alis Drupadi bertaut. Tumben? Biasanya juga aku di rumah sama Mbok Lastri. Gadis itu kembali membalas pesan Narendra.
Mau ngajak adek ke mana?

KAMU SEDANG MEMBACA
Asmarandana [Macapat Series]
Romance[Tamat] Asmarandana berasal dari kata 'asmara' yang berarti cinta kasih. Filosofi tembang Asmarandana adalah mengenai perjalanan hidup manusia yang sudah waktunya untuk memadu cinta kasih dengan pasangan hidup. Ini adalah cerita tentang Drupadi dan...