Kata orang rindu itu indah, tapi kata Drupadi rindu itu menyiksa. Mulai dari sering memikirkan yang tidak jelas, kadang suntuk sendiri kalau tidak mendengar kabar, termasuk senyum-senyum kalau mengingat saat-saat berdua. Mana senyumnya sembunyi-sembunyi. Susah kan?
Isi pikiran Drupadi kira-kira seperti itu semenjak meninggalkan jejak dari Kebun Binatang Surabaya lima minggu yang lalu. Untung perkuliahan memberinya tugas yang luar biasa banyak, ditambah ajakan Amelia untuk mengajar anak-anak. Jangan lupa PKL yang dalam waktu dekat dijalani, membuat gadis itu tidak tenggelam dengan benaknya.
Drupadi telah menemukan cara paling jitu untuk membunuh perasaannya pada Ardan yang entah sejak kapan mulai tumbuh. Inginnya tidak disiangi, tidak perlu diberi cahaya matahari, dilarang untuk berfotosintesa supaya layu. Jadi ketika gadis mungil itu berpisah dengan Ardan, tidak akan ada penyesalan, rasa rindu, kangen, lan sapanunggalipun. Bikin capek ati.
Tapi....
Semua itu mendadak buyar saat sang kakak mendatangkan Ardan. Kalau seperti ini namanya penyiksaan. Mending tidak bertemu sama sekali, jadi Drupadi tidak perlu sakit hati karena sibuk mengira-ira siapa perempuan yang beruntung mendapatkan Ardan kelak.
Dengan semua kualifikasi yang dikemukakan Narendra, minimal seorang Drupadi setara dengan Ayana dulu untuk bisa menggaet Ardan. Tapi apalah gadis itu, jauh dari kriteria yang disebutkan kakaknya.
"Dru, kok diem aja dari tadi?"
Drupadi dengar, sangat jelas malah ketika Ardan mengeluarkan pertanyaan dengan senyum yang bisa gadis itu lihat dari spion tengah. Hanya satu detakan jantung sepersekian detik, dua matanya bertemu dengan Ardan lewat benda kotak tersebut. Namun yang selanjutnya terjadi, Drupadi memalingkan muka ke arah jendela mobil.
"Laper."
Hanya satu jawaban itu, tapi efeknya malu setengah mampus saat Narendra mengolok. "Masak kalah sama yang puasa?"
Nah, kan? Mulai deh! "Dru kan lagi kehilangan banyak darah, butuh asupan gizi lebih banyak."
Ayana tertawa mendengar jawaban Drupadi, lebih geli lagi saat Ardan berpaling ke arah Narendra seolah bertanya maksud Drupadi. "Duh, drakula mana yang ngambil darah kamu, dek?"
"Kamu luka, Dru?" Lagi-lagi Ardan melirik ke arah spion tengah, dilihatnya Drupadi menggeleng dengan wajah malas.
"Udah ah, jangan dibahas lagi."
Narendra tersenyum kecil. "Ojok heran sama jawaban Drupadi, Met. Koyok gak ngerti ae."
Ardan penasaran, sepertinya pikirannya menemukan sebuah jawaban. "Maksudnya lagi.. itu kan?" Alis Ardan melengkung, senyumnya merekah.
Ya Allah masih juga dibahas. Drupadi memajukan tubuhnya, ditepuknya pundak sang kakak. "Mas tu ya udah jahat nyulik adek, terus aja ngebully. Ntar tak laporin papah!"
"Sana lapor papah, wong papah lebih percaya sama mas kok."
"Idih, ge er!" Dru memundurkan tubuh, tidak sadar sedari tadi wajah Ardan rasanya kemeng senyum terus-terusan.
"Mbak Ana masih mau sama tukang bully gini?" Kini Drupadi mengeluarkan kalimat sakti. Membuat Narendra tiba-tiba kicep, sedangkan Ardan berusaha untuk tidak tertawa.
Kebalikan dari Narendra, Ayana hanya tersenyum simpul lalu menggeleng. "Bully-nya Mas Naren ke kamu itu bikin aku iri loh, dek."
"Ha? Kok bisa? Mbak Ana mau di-bully? Ya ampun!"
Ayana tertawa kecil, tanpa berani melirik ke arah tempat duduk Narendra yang ada di depannya, ia berkata lagi. "Aku anak tunggal sekarang, abangku udah dipanggil Allah tiga tahun yang lalu. Makanya kalau liat kalian bawaanya iri banget."
![](https://img.wattpad.com/cover/144992992-288-k12555.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmarandana [Macapat Series]
Romance[Tamat] Asmarandana berasal dari kata 'asmara' yang berarti cinta kasih. Filosofi tembang Asmarandana adalah mengenai perjalanan hidup manusia yang sudah waktunya untuk memadu cinta kasih dengan pasangan hidup. Ini adalah cerita tentang Drupadi dan...