32_Apa Kata Hatimu, Kanaya?

2.2K 387 76
                                    


..

Laki-laki itu berdiri di depan sebuah lemari pendingin dengan pegawai lain yang mengikutinya. Pemeriksaan di dalam ruangan telah dilakukan, ia tinggal membubuhkan tanda tangan pada beberapa dokumen seraya mendengarkan penjelasan pegawai lainnya.

Hari-harinya masih sama, bahkan dua minggu yang lalu ketika hari raya idul fitripun hanya sempat ia rasakan tiga hari di Jakarta. Sisanya kembali bekerja ke Surabaya karena perusahaan retail tempat ia bekerja tidak mengenal hari libur.

"Pak Bimo jadi mau periksa gudang produk daily milk?"

Bimo mengangguk tanpa banyak bicara. Suasana hatinya sedang tidak tenang, bahkan senyumnya mulai memudar akhir-akhir ini. Melewati beberapa rak besar, ia berjalan menuju gudang belakang. Masih dalam nuansa hari raya, ia dan karyawan lain akan merayakan halal bi halal kecil-kecilan sepulang jam kerja nantinya.

Ah, seandainya Kanaya tahu seperti apa isi pikiran Bimo beberapa hari ini, mungkin perempuan berhijab itu berpikir lagi untuk menerima pinangan Abiyasa. Sayangnya, Bimo tidak akan berbuat anarkis menggagalkan pertunangan Kanaya. Dia masih punya harga diri.

Saya sudah menetapkan hati, Pak Bim. Maafkan saya yang tidak bisa membalas perasaan yang sama seperti yang Pak Bim berikan pada saya.

------

Drupadi sangat senang saat cincin pengikat telah tersemat pada jari manis Kanaya. Dilihatnya sepasang insan yang tengah merayakan pesta pertunangan itu terlihat tersenyum satu sama lain. Bukan Abiyasa yang menyematkan cincin pada jari kiri Kanaya, melainkan sang ibu. Lalu sebaliknya, Abiyasa menerima cincin yang disematkan Budhe Um.

Suasana malam itu sangat kental aura kekeluargaannya. Ada Gendhis dan ayah ibunya yang juga ikut sebagai keluarga mempelai pria. Tadi Drupadi dan Narendra juga sempat diperkenalkan sebagai keluarga dari pihak perempuan.

Mas Arkan –kakak sulung Kanaya, juga hadir lengkap dengan keluarga kecilnya yang datang dari luar Jawa. Gendhis bahkan terlihat mulai akrab dengan Zidan dan Zahwa, putra putri Arkan. Drupadi sempat menjadi pengasuh tadi saat proses lamaran berlangsung. Ia menyukai anak-anak, tidak heran para krucil dengan mudah menempel padanya.

"Kamu kapan nyusul, Ndra?"

"Tahun depan, Insha Allah. Mas Arkan top banget udah mau nambah lagi buntutnya." Narendra menggoda kakak sepupunya tersebut, mereka sama-sama menatap Mbak Vivian yang tengah berbadan dua.

"Habis ini mamanya Zidan mau tutup gudang."

"Lah kenapa?"

"Tiga cukup, Ndra. Abot tenan biaya sekolah sekarang ini."

"Iya sih. Ancene larang e, mas."

Drupadi hanya duduk menyimak obrolan dua laki-laki yang semakin terdengar serius meski terlihat santai. Kalau dilihat lagi, ada satu keluarga –mungkin sepupu Abiyasa, yang salah satunya perempuan, mulai lirik-lirik Narendra.

Drupadi mengerjap, dilihatnya bergantian sang kakak yang tidak menyadari ditatap lalu beralih pada si perempuan yang mungkin seumuran dirinya.

"Mas Naren."

"Hem?"

"Ada yang kesengsem sama mas."

Arkan menengok pada Drupadi, "yang mana?"

Asmarandana [Macapat Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang