31_Karna Ku Tahu Engkau Begitu

2.2K 414 73
                                    

"Papah serius lebaran hari ke empat kita ke Semarang?"

Pak Surya melipat surat kabar yang sedari tadi dibaca, hingga kolom iklan saja tidak luput dari perhatiannya. "Iya, Dru. Memang kenapa?"

"Rencananya Mas Ardan mau mampir, Pah. Sebelum berangkat ke Sorong. Pesawatnya transit di sini."

"Transit kan gak lama."

"Maksudnya transit itu dia nginep semalam di rumah temennya, terus pagi berangkat ke Sorong."

"Mana ada jadual seperti itu?"

"Ada kok, Pah." Drupadi aslinya kecewa lantaran Ardan baru saja memberitahu dirinya kalau tiket pesawat menuju Sorong hanya transit di Surabaya. Kalau mau sebenarnya mereka bisa aja bertemu karena Pak Surya memiliki banyak teman di Angkasa Pura I, namun itu tidak mungkin terjadi karena tepat ketika Ardan transit di Surabaya, posisi Drupadi dalam perjalanan ke Semarang.

"Papah baru tau."

Narendra melirik sang adik. Dia tahu juga jika sahabatnya itu kemungkinan kecil bisa bertemu dengan Drupadi. "Ardan kan udah ralat, dek. Dia gak keluar dari bandara."

"Tapi kan papah punya temen di bandara."

"Lebih penting mana, nengokin makam mamah apa Ardan?" Narendra terlihat kesal, kali ini keinginan Drupadi harus dikendalikan setelah dari kemarin merengek meminta mereka berkumpul membicarakan perjalanan ke Semarang. Bagi Narendra, mengunjungi makam sang ibu jauh lebih penting karena sebelum puasa mereka tidak sempat. Lagipula setelah libur lebaran yang lumayan pendek ini, cukup susah mengambil waktu karena acara Kanaya dan Ananta yang berdekatan.

"Gak bisa hari lain ya, Mas?" Drupadi masih menawar.

Narendra mengambil kalender. "Cuma dua hari sisa libur buat ke Semarang. Kapan lagi bisa tilik kuburnya mamah? Segitu pentingnya Ardan sampai ngalahin mamah?"

Pertanyaan Narendra tiba-tiba membuat Drupadi tertohok. Ditatapnya sang kakak benar-benar kekeuh tidak akan mengabulkan permintaannya. Pada akhirnya, Drupadi harus menyerah juga dengan keadaan. Bagaimanapun ketika berhubungan dengan ibu, dia tidak akan menolak. Sekalipun sedari kemarin dia mencari seribu alasan untuk menunda keberangkatan ke Semarang, tetap saja ia kalah saat Narendra mengingatkan tujuan utama mereka ke sana.

"Kamu kan bisa teleponan sama Ardan, dek. Papah kan gak ngelarang."

"Iya, Pah. Adek tetep ikut kok ke Semarang. Cuma kan ketemunya sama Mas Ardan nunggu setaun lagi. Lama."

Pak Surya menatap wajah Drupadi, rasanya tidak tega melihat bungsunya menunduk lesu. "Terus maunya gimana? Gak kangen mamah?"

"Kangen banget." Drupadi mengangkat wajah. Duh, di saat seperti ini kenapa dia harus memilih antara ibu dan calon suaminya? Berat.

"Ya udah sekarang telepon Ardan. Bilang minta maaf gak bisa nyempetin ketemu." Pak Surya menepuk punggung Si Bungsu. "Kita hanya semalam di Semarang, setelah itu balik Surabaya."

Drupadi mengerjap, "iya...," wajahnya sedikit kecewa namun berusaha ditepis. Benar kata Narendra, Ardan baru saja mengisi tempat di dalam hatinya, namun seharusnya ibu menempati posisi teratas setelah sang ayah.

Drupadi melihat Narendra mengambil mug yang tadi diletakkan di atas meja tamu, mendengus berat, laki-laki itu meninggalkan sang adik.

Mas Naren marah ya?

------

Rasanya malas membalas pesan Ardan, takut kalau semakin dibalas semakin besar rasa ingin bertemu. Drupadi sudah mendiamkan panggilan Ardan selama tiga hari ini. Membalas pesanpun hanya sekali sebelum tidur, sengaja supaya punya alasan untuk menghindar. Tidur cepat jelas tidak akan didebat Ardan karena mereka sama-sama tahu jam malam Drupadi lebih gasik daripada orang lain.

Asmarandana [Macapat Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang