38_Keberanian Ardan

3K 408 120
                                    

Bangunan yang kini akan dibuat bermalam Keluarga Pak Surya tidak terlalu besar, hanya saja karena perabotan yang tertata tidak banyak maka terlihat lebih luas dari ukuran sesungguhnya.

Drupadi telah meletakkan koper miliknya di dalam kamar yang cukup bersih dan nyaman. Katanya ini kediaman Arlia kalau pulang ke Lembang. Karena kakak sulung Ardan lebih memilih untuk tidur di rumah orang tuanya, liburan kali ini Drupadi dan keluarganya yang berkesempatan menempati. Ada Ceu Odah yang mengurusi rumah, jadi meskipun hanya sesekali ditempati, rumah itu tetap bersih sesuai permintaan Arlia.

Kembali pada Drupadi, gadis itu bersenandung kecil sembari menata isi koper yang sempat berantakan. Mereka terpaksa langsung membawa barang bawaan tadi pagi setelah Ardan menjemput. Tidak mungkin check out hotel selepas acara Ardhita, waktunya terlalu mepet. Maka dari itu sesuai rencana awal Pak Wildan, Keluarga Pak Surya menginap satu malam. Besok Minggu baik Ardan maupun Drupadi akan kembali berpisah. Ardan akan transit di Surabaya sebelum berangkat ke Sorong, sedangkan Drupadi akan berada di pesawat berlainan meski satu tujuan.

Rasanya berat sih, tapi mau bagaimana lagi? Drupadi tidak mungkin memaksa Ardan untuk tetap tinggal di Jawa, mereka bahkan belum memiliki ikatan resmi. Tidak ada hak Drupadi untuk melarang. Ditambah, kesempatan khitbah juga pasti akan sulit dilakukan. Waktu dan jarak yang memisahkan keduanya menjadi kendala, disadari atau tidak.

"Dru, mandi!"

Drupadi menoleh ke belakang, terlihat Kanaya telah memakai celana panjang dan kaos lengan panjang. Surainya tertutup handuk karena masih basah.

"Mbak Aya shampoan?"

Kanaya mengangguk, "biar seger."

"Emang gak dingin, Mbak?"

Kanaya manggut-manggut. "Mumpung masih jam empat, mandi sekarang sana. Keburu hujan malah tambah dingin ntar."

Drupadi menilik jendela kamar. "Iya juga ya, mendung."

"Mandio ndang."

"Mau selonjoran dulu. Capek." Drupadi merajuk. Ia hanya terkekeh saat Kanaya menepuk pantatnya tatkala tubuhnya rebahan di atas ranjang.

"Nek katisen embuh lo ya, tanggungen dewe."

"Inggih, Mbakyuu!"

..

Ardan masih bergumul dengan bantal guling saat sang kakak memanggilnya. Baru setengah jam dia memasuki kamarnya setelah berhaha-hihi dengan Narendra, Dru dan Kanaya saat perjalanan mereka pulang ke kediaman Arlia yang kini ditempati sementara Keluarga Pak Surya. Meski tidak rela meninggalkan Drupadi, Ardan masih memiliki rasa sungkan pada Pak Surya. Menempeli anak gadis orang juga ada batasnya. Tapi sumpah ya, kenapa Drupadi susah untuk diajak berjabat tangan? Tidak ada kontak fisik sama sekali, mereka masih bertahan dengan konsep ta'aruf yang pernah Ardan jelaskan pada Drupadi. Ditambah sikap Narendra yang seolah mengijinkan sang adik untuk bersamanya, tapi di saat bersamaan malah mengawasi.

Ardan kan jadi salting sendiri. Memang benar kata rule persahabatan antar laki-laki. Jangan pacari saudari perempuan sahabatmu, susah bro!

Awalnya terjadi penolakan malam sebelumnya, Narendra bersikeras kalau perlakuan Ardan berlebihan. Mereka belum menjadi keluarga, masih sekedar tamu. Apa kata orang kalau tahu Drupadi menginap di kediaman Arlia tanpa si empunya rumah menempati.

Namun itu semua sirna saat Ardan menceritakan maksudnya mendekatkan dua keluarga mereka. Akan lebih mudah mengatakan niatnya yang baik nantinya jika mereka tidak berada di tempat umum. Hotel juga tempat umum kan? Lucu kalau membicarakan hal serius menyangkut masa depan mereka di dalam kamar hotel atau restoran. Baiknya sih di satu tempat yang nyaman, tapi tidak seatap dengan Ardan.

Asmarandana [Macapat Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang