15_Sebuah Pertanyaan

2.5K 439 49
                                    

Tidak ada yang terucap lebih panjang dari kata iya dan tidak. Drupadi tidak tahu apa yang tengah ia pikirkan saat ini. Tidak ada keanehan dalam diri Ardan. Manusia satu itu masih tertawa, malah sekarang memilih bergabung lagi dengan rombongan. Menyisakan Drupadi yang berubah menjadi lebih pendiam ketika mereka memutuskan untuk mengakhiri sesi jalan-jalan.

"Kita nganter Mbak Ana kan, mas?"

Narendra mengangguk. "Bentar tak tanya Mamet mau nunut apa enggak."

Drupadi melihat sang kakak menyusul Ardan. Terlihat berbincang sebentar, sementara ia menunggu di dekat mobil mengamati sosok yang membuatnya mengucap Subhanallah dalam hati, tadi. Efeknya tidak biasa ternyata, maunya mengamini ucapan Kanaya tempo hari tapi masih tidak percaya. Dalam hati malu.

Biasanya juga enggak gitu. Mataku kenapa ya?

Drupadi berdecak kecil, menggetok kepalanya sendiri seolah ingin mengeluarkan bayangan Ardan dari dalam pikirannya. Padahal juga tidak berefek, yang ada justru menarik perhatian laki-laki itu yang kini justru mengamatinya dari kejauhan.

Heh! Ada apa denganku, Ya Allah?

Drupadi mengangkat kepala yang tadinya menunduk. Dilihatnya Ardan tersenyum dengan melambaikan tangan.

Ga jadi ikut? Alis Drupadi bertaut. Dilihatnya juga Narendra menjauhi Ardan lalu menghampirinya bersama Ayana dan Adiba.

"Yuk pulang, dek. Mas Ardan pulang sama Kak Rio." Ajak Ayana.

Drupadi mengangguk memperlihatkan wajah lelah dibuat-buat. Melirik sekilas, hanya ada Ardan memunggungi mereka.

"Malah ngalamun." Narendra mencoel ujung hidung adiknya.

"Mas Naren, ih!"

..

Ardanu, dia sukar untuk tidak tersenyum. Mengingat bagaimana ia menghabiskan waktu lebih panjang dengan Drupadi membuat moodnya menjadi lebih baik. Padahal tadi sebelum bertemu Drupadi terlihat muka tertekuk. Ardan tidak sadar apa yang ada dalam pikiran Drupadi saat ini. Bayangkan kalau pemuda itu tahu, mungkin sampai tidurpun dia tetap tersenyum.

-------

"Dek."

"Hem?"

Narendra melirik ke samping pada Drupadi setelah selesai mengantar teman-teman pulang. Jam menunjukkan pukul tiga sore. Mobil membelah jalan Pacar Keling menuju kediaman mereka. "Tadi kenapa misah?"

"Misah gimana?"

"Halah, itu tadi kenapa sama Mamet terus? Kalian ada apa sih?"

Drupadi berkedip, alisnya bertaut. "Gak juga, mas. Tadi udah bareng-bareng loh ya."

"Iya bareng pas sampai sana sama mau pulang aja kan. Diantara jam itu kamu ngapain sama dia?"

Oke, Drupadi merasakan hawa-hawa protektif dari sang kakak. Secuek-cueknya Narendra, pasti ada saat pemuda itu tertarik dengan kehidupan pribadi sang adik. Drupadi masih ingat bagaimana sikap sang kakak saat gebetan pertamanya apel untuk pertama kali. Saat itu dia masih duduk di kelas dua SMA, sedang masa-masanya mencari jati diri katanya. Nah, Narendra dengan sikap sok dewasa tanya ini itu, kadang tidak penting. Misalnya, sunat kelas berapa? Udah pernah pacaran belum? Rumahnya mana? Sudah ijin orang tua belum kalau main ke rumah teman?

Yang membuat Drupadi jengkel itu karena larangan Narendra pada Drupadi untuk tidak boleh pacaran sebelum lulus SMA. Jaman sekarang itu bahaya kalau pergaulan tidak diawasi, dan posisi ayah mereka yang tidak selalu di rumah menjadi alasan Narendra untuk mengendalikan pola pertemanan Drupadi.

Asmarandana [Macapat Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang