18_Tentang Dia

2.2K 430 74
                                    

Drupadi saat itu butuh penyesuaian saat Ayahnya dipindahtugaskan ke Lembang. Setelah kenaikan kelas, satu tahun ia habiskan di sana bersama teman-teman kelas lima sekolah dasar. Menjadi murid termuda di kelas sebenarnya tidak membuatnya kesulitan. Anak-anak pada masa itu tidak pernah menanyakan, berapa usiamu? Yang ada ketika meniup lilin, mereka akan bersorak dan bernyanyi sembari penasaran isi kado yang sedang berulang tahun.

Narendra baru memiliki teman baru yang kebetulan teman satu sekolah meski beda kelas. Ardan biasa dia memanggil. Siang itu dia mengajak kawan baru –sekaligus tetangga barunya tersebut, untuk main game di rumah.

"Rame banget, ada acara apa?"

"Adekku ulang tahun."

"Oh," Ardan melewati beberapa pasang sandal yang berserakan di teras rumah. Mengikuti langkah Narendra, ia sempat melihat Drupadi dengan gaun berwarna biru terlihat ceria. Rambutnya sebahu berponi memakai bando senada dengan warna baju. Matanya membulat berkali-kali, alisnya bertaut, sesekali terkikik bersama teman-temannya.

"Ngomong pake Bahasa Indonesia aja, Dru gak ngerti." Itu salah satu celotehannya, sementara anak yang lain cengegesan karena ketidak tahuan Drupadi.

"Kalian mau ke mana?"

Ardan berhenti saat seorang wanita –yang akhirnya dikenali sebagai Ibu Kanaya, menghentikan langkahnya dan Narendra.

"Mau ke kamar, Budhe."

"Kok ke kamar? Kan adekmu belum tiup lilin."

"Bentar aja, ni mau kasih liat Ardan kaset PS-ku yang baru."

Ibu Kanaya menatap bergantian wajah Ardan dan Narendra, yang membuat ia terkejut, teman keponakannya itu mengulurkan tangan lalu salim. "Boleh nge-game, tapi mbok tunggu Dru tiup lilin dulu to, Ndra. Foto sama adek, sama papahmu juga."

"Iya, nanti juga liat adek tiup lilin kok. Ini bentar aja."

Ardan tidak enak hati, disenggolnya lengan Narendra. "Nanti aja, Nar. Liat adekmu tiup lilin dulu, ntar aku ke sini lagi kalau udah sepi."

"Gak usah pulang, siapa namamu, nak?"

"Ardan, Bu." Jawab Ardan dengan logat Sunda. Untung Naredra tidak medhok logat Jawanya.

"Iya, Ardan. Di sini aja, nanti makan nasi kuning."

Narendra menoleh ke samping, minta persetujuan Ardan. "Ikut makan aja, gak usah malu-malu. Kan kamu sendirian di rumah."

"Nah, itu. Udah di sini aja ya? Sebentar lagi Drupadi mau tiup lilin."

..

Ardan duduk bersebelahan dengan Narendra yang sibuk dengan game Nintendo di sofa ruang tengah. Dilihatnya Drupadi sedari tadi hilir mudik, tadi sempat rewel karena digoda Kanaya yang saat itu sudah duduk di bangku kuliah semester kedua. Ardan tahu kalau tetangga barunya itu pindahan dari banyak kota.

Setahu dirinya, Naredra lahir di Medan saat sang ayah bertugas di sana, sedangkan Drupadi lahir di Semarang. Setelah Drupadi berusia empat tahun, mereka pindah lagi untuk menetap di Lombok baru kemudian pindah lagi ke Surabaya sebelum pindah ke Lembang.

Pengetahuan bahasa Drupadi dan Narendra campur-campur, mengerti bahasa Jawa namun bahasa Indonesianya tidak memiliki logat manapun. Meski begitu, sepertinya sang ayah tetap menggunakan bahasa ibu ketika di rumah. Karena sebagian besar keluarga memang tinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

"Itu apa?" Drupadi kecil menunjuk pada satu kotak minuman yang berada di dalam genggaman anak yang lain.

Kanaya duduk di samping Ardan, sama-sama memperhatikan Drupadi mengobrol dengan tetangganya yang seumuran.

Asmarandana [Macapat Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang