11_Rejeki Anak Soleh

2.4K 484 68
                                    

Libur tlah usai, libur tlah usai. Hore. Hore. Hore!

Itu dendangan ala Drupadi yang masih tidak rela liburnya habis. Kemarin sepulangnya dari Wonosobo, dia mendapatkan titipan oleh-oleh dari teman-temannya. Pesanannya banyak, padahal minta gratisan. Alhasil sebelum ke bandara, kakinya lempoh mengitari Malioboro demi yang dinamakan kesetiakawanan.

Pret!

Nasibmu, Dru!

"Nanti Naren yang jemput kan, Dru?"

"Hu um. Tapi aku kok ga yakin ya, Mbak?" Drupadi menyelonjorkan kaki, menyandarkan punggung pada kursi ruang tunggu bandara. Yang tadinya bawa satu koper jadi beranak pinak. Dua tas jinjing, satu tas ransel, belum termasuk punya Kanaya.

"Kenapa?"

"Biasanya kan Papa."

"Tapi papa kamu masih dinas ke Makassar, besok siang baru sampai."

"Iya juga sih."

..

"Aku ada jadwal bimbingan, Met. Bisa ya jemput adekku?"

Ardan masih diam, dia juga pusing menunggu untuk bimbingan. Hari ini dirinya harus mendapatkan tanda tangan pengesahan pengajuan ujian TA dari dua dosen pembimbing agar semester depan terlepas dari status mahasiswa. Ternyata perkiraan Kanaya meleset. Ardan bisa lulus lebih cepat dari perkiraan.

"Jam berapa sih?"

"Jam dua pesawatnya landing. Iso ora?"

Ardan mengamati jam tangan, dilihatnya ruang dosen yang masih kosong. "Aku gak janji."

Narendra tidak punya banyak waktu. Hanya Ardan yang bisa diandalkan, teman-temannya yang lain masih bernasib sama dengannya, berjibaku dengan waktu, berkutat dengan proyek akhir demi lulus awal tahun depan. Beda dengan Ardan yang kebetulan mendapatkan dosen pembimbing yang super baik.

Rejeki anak soleh katanya.

"Gini deh, kunci mobilku mbok bawa ya."

"Eh, ogah."

"Emang nunggu siapa lagi sih?"

"Bu Padmi."

"Tinggal minta tanda tangan aja kan?"

Ardan mengangguk, "tapi sekalian bimbingan ppt."

Narendra berdecak, dilihatnya jam menunjuk angka dua belas lewat sepuluh. "Kamu serius gak mau jemput Dru?"

Pengen banget, tapi bimbinganku lebih penting. Ardan menatap wajah resah Narendra. "Emang mereka gak bisa naik taksi?"

"Gila aja naik taksi, mahal."

"Iya juga sih. Tapi aku beneran gak bisa, itu ruang dosen masih kosong. Bu Padmi gak ada tanda-tanda nongol."

Narendra berkacak pinggang, matanya juga sama seperti Ardan, jelalatan ke mana-mana mengawasi setiap orang yang masuk ke dalam ruang dosen. Di saat hampir putus asa, Ibu Dosen yang ditunggu-tunggu Ardan akhirnya muncul juga. Membuat Narendra tersenyum senang.

"Met, cepetan kejar!" Naren menggoyang lengan Ardan. "Itu bu Padmi."

"Eh, mana?"

"Cepetan ndang," Naren merogoh kantong celana jeans. "Ini kunciku, makasih ya!"

Ardan bengong, bingung antara menerima kunci kontak dan kedatangan Bu Padmi. "Eh, Nar apaan nih?"

"Jemput Mbak Aya sama Dru! Pesawat Garuda dari Yogya. Suwun, bro!" Naren berlari cepat meninggalkan Ardan yang menatap tidak percaya. Ini mah namanya pemaksaan.

Asmarandana [Macapat Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang