39_Menari Di Hatimu

2.3K 387 123
                                    

Ananta sibuk meladeni sang istri yang pipinya kian gembul seiring dengan pertumbuhan janin di dalam rahim, tadi sudah ada selat solo, dilanjut martabak, puding, sukiyaki dan diakhiri dengan serabi dan bubur sumsum meluncur ke dalam perut Amelia. Kini, laki-laki berperawakan sedang itu memegang satu mangkuk sup matahari buatan Kanaya di tangan kanan, dan sate ayam di tangan kiri. Melas sekali.

"Sumuk banget, Mas."

"Gak bawa kipas, Mbul." Ananta celingukan.

"Cari dus aja. Sumpah gerah banget ini."

Mata Ananta berotasi ke atas, mana bisa dia mencari dus untuk dibuat kipasan Amelia kalau dua tangannya penuh makanan seperti ini? Siapa yang harus tanggung jawab coba kalau tiba-tiba setelah butuh perjuangan panjang antri ternyata sang istri mengatakan kenyang tanpa dosa.

Ini sup matahari dan sate loh! Makanan berat semua. Untung istri kesayangan, mau marah rasanya tidak tega. Tepatnya sih tidak berani, masak ibu hamil besar mau diprotes? Gak gentle kan?

Oke kembali pada permasalahan yang melanda sepasang insan ini. "Satenya dihabisin dulu kali, Mbul."

Amelia dengan mata dan pipi bulat menatap penuh Ananta. "Udah gak muat ini." Pandangannya turun pada perut yang tertutup gamis brokat. "Nih, udah gede banget."

"Ya itu kan karena hamil, sayang." Amelia sepertinya sedang menguji kesabaran seorang Ananta Sugandhi saudara-sudara! Tapi laki-laki itu masih memiliki stok kesabaran puluhan kilometer kok.

Sementara Amelia cuma meringis manis hingga dua matanya sangat sipit akibat tertutup pipi gembil. "Mas kan belum makan, sini aku suapin."

"Ngeles aja, aku udah kenyang liat kamu makan."

"Gak boleh gitu, tadi kan udah berjuang antri, masak disia-siain sih? Mas kurang menghargai usaha sendiri namanya." Amelia mengambil satu piring di tangan Ananta. Tanpa rasa bersalah, ia mulai menyendok sup matahari. "Buka mulutnya, a!"

Anata bengong, matanya mengerjap tidak percaya atas sikap sang istri. Yang minta sate dan sup matahari tadi siapa? "Mbul? Aku kenyang."

"A...," Amelia ikut membuka bibirnya. "Nanti ayamnya Aisyah mati loh."

"Emang Aish pelihara ayam?" Nah, Ananta dibuat heran lagi.

"Enggak." Amelia buru-buru memasukkan suapan saat bibir Ananta terbuka. Sukses masuk, untung tidak keselek. Terkadang ibu hamil sadis juga, semoga Ananta Junior besok tidak mengalaminya.

"Te –rus..," Ananta mengunyah makanan yang berada di dalam mulut.

"Hush, makan gak boleh sambil ngomong. Ntar keselek." Lagi-lagi Amelia menyendok sup, menyuapkan pada sang suami. Dia kan sayang Ananta, masak iya badan laki-laki berkulit pucat itu kalah jauh dengan tubuhnya yang kian membesar? Nanti dia dikatakan tidak pintar merawat suami dong. Malu kan?

"Pelan-pelan, Mbul. Gak ada minum ini."

"Kuahnya, kuah, disruput aja. Gantinya minum."

Astaga! "Mbul, yang bener ah." Ananta menahan tangan Amelia yang akan menjejalkan suapan terakhir. "Udah, aku kenyang."

Amelia tersenyum usil. Diletakkan piring pada kursi di sampingnya. "Makasih, Papa Suga. Adek gerak-gerak nih, seneng liat papanya mau makan banyak hari ini."

"Mana, mana? Gerak beneran?" Ananta segera menyingkirkan piring, tangan kanannya menyentuh perut buncit Amelia.

"Sebelah sini loh," jemari Amelia mengarahkan telapak tangan Ananta pada titik yang bergerak-gerak.

"Eh, iya. Assalamu'alaikum, nak." Sapa Ananta, gummy smile-nya terlihat. Lalu ditatapnya takjub wajah Amelia. "Ini bagian apanya? Telapak kaki?"

Asmarandana [Macapat Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang