*Prologue*

4.9K 257 6
                                    

Suara tawa itu membuat langkah seorang gadis kecil berambut pirang berhenti. Dia menoleh kearah taman bunga di mana banyak anak-anak seusianya sedang bermain bersama. Gadis kecil itu hendak melangkah ke sana namun tangannya ditahan oleh nanny-nya.

"Jangan, Tuan Putri. Saat ini Anda harus pergi ke ruang perpustakaan. Tutor privat Anda sudah menunggu." ujar wanita berusia paruh baya itu.

"Tapi aku ingin bermain ...," gadis kecil itu mendongak pada sang nanny. "Boleh, ya?"

Wanita yang disebut nanny itu menggeleng lemah sambil tersenyum sendu. Dia tahu seberapa besar keinginan majikannya itu untuk mengecap masa kecil yang sayangnya direnggut oleh status dan kondisinya sebagai seorang putri. Dia lalu berjongkok dan mensejajarkan pandangannya dengan gadis kecil itu, "Kalau Anda ingin bermain, Anda bisa melakukannya setelah belajar. Saya akan menemani Anda bermain."

"Benar?" tanya gadis itu, yang disambut anggukan oleh nanny.

Senyum gadis itu merekah. Dengan bersemangat dia berjalan menuju perpustakaan menemui tutornya sambil diikuti oleh nanny.

***

"Lihat itu, Lucius,"

Lucius yang sedang bermain pedang-pedangan menghentikan kegiatannya, "Apa?"

Salah seorang temannya menunjuk gadis kecil yang tadi menatap mereka, "Itu adikmu, kan? Si Putri Racun?"

Lucius menatap punggung gadis kecil dengan rambut pirang yang berjalan melewati koridor istana dan mendengus, "Dia bukan adikku. Dan seperti julukannya, dia adalah racun bagi kerajaan ini."

"Benarkah? Kudengar sejak kecil dia memiliki racun dalam darahnya. Bahkan pisau yang dilumuri darahnya pun mampu membunuh seekor kuda paling ganas sekalipun." Sahut temannya yang lain.

"Dia senjata paling ampuh untuk kerajaan ini, kan?" kata yang lain, "Sebuah pedang bermata dua."

Lucius mengedikkan bahu dan tidak peduli dengan ucapan teman-temannya. Namun sekilas dia melihat si gadis kecil sudah tak terlihat lagi bersama nanny-nya. Lucius menatap tempat terakhir gadis kecil itu terlihat dengan tatapan penuh permusuhan.

***

Sementara itu di ruang rapat, Raja Cardia sedang mengadakan rapat bersama menteri dan pejabat lainnya. Wajah semua orang diliputi kekhawatiran sekaligus kecemasan, sementara sang ratu kerajaan, Ratu Iris, duduk di samping suaminya dengan wajah datar.

"Aku ingin melenyapkan Lacia." Ujar sang raja, "Adakah yang keberatan dengan keputusanku?"

Semua pejabat dan menteri saling berdiskusi dengan orang yang duduk di sebelah mereka. Mempertimbangkan ucapan sang raja yang ingin melenyapkan putri mahkota, Lacia la Midford. Raja memperhatikan wajah para menteri dan pejabat bawahannaya dengan seksama. Menunggu respon dari mereka atas keinginannya.

Salah seorang menteri mengangkat tangannya, "Maaf, Yang Mulia, tetapi saya ingin tahu mengapa Anda ingin melenyapkan Putri Lacia. Bukankah ia darah daging Anda sendiri?" tanya sang menteri.

Sang raja menyerap pertanyaan itu baik-baik dan kemudian menjawabnya, "Walau ia adalah darah dagingku sendiri, tetapi kekuatan dan apa yang ia bawa dalam tubuhnya bukanlah suatu hal yang baik bagi kerajaan ini. Dia akan menjadi penghalang bagi Kerajaan Silvista dalam menggapai cita-cita yang kita inginkan, memperluas wilayah dan menaklukkan kerajaan lain." kata Raja, "Bila keberadaan Putri Lacia diketahui oleh pihak luar, akan terjadi peperangan yang lebih mengerikan hanya demi mendapatkannya. Karenanya aku ingin ia lenyap, menghilang dari bumi ini."

Jawaban sang Raja makin membuat semua orang ribut. Sang ratu yang sedari tadi duduk dengan wajah datarnya berdeham, menarik perhatian mereka.

"Alasan mengapa Yang Mulia ingin melenyapkan Putri Lacia adalah kekuatannya yang mengerikan akan menjadi batu sandungan yang terlampau besar untuk dikendalikan kerajaan ini. Kutukan dari penasihat Nemesia membuat tubuh Putri Lacia memiliki racun mematikan dalam darahnya. Menurut kalian, apa hal tersebut bisa ditanggung kerajaan bila suatu hari nanti sang putri membelot dari kerajaan ini?"

Poison Princess [End]》✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang