Leia dan Kana sudah merasa cukup melepaskan beban mereka sebagai ibu dan anak. Dan setelah merasa lebih baik, kali ini Leia menatap Kana dengan sorot berbeda.
Ia memiliki ibu kandung, dan ibunya adalah sosok yang sangat mengagumkan. Leia tidak bisa tidak tersenyum memikirkan kenyataan itu. Ini bahkan lebih baik dibandingkan memiliki ibu sejahat Ratu Iris.
"Tetapi aku masih tidak mengerti," kata Leia, "Bila aku bukan putri kandung Ratu Iris, mengapa ia bersikeras menumbalkanku padahal dia sendiri sudah mengorbankan putrinya sendiri?"
"Aku juga tidak tahu, tetapi yang pasti aku tidak akan membiarkannya menyentuhmu," Kana mengelus surai Leia, "Kau permataku yang paling berharga. Bila ia mencoba mengambilmu dariku, akan kupastikan dia akan masuk ke dasar neraka yang paling dalam."
Leia tersenyum. Tidak hanya Mikail yang menjanjikan demikian, Kana pun begitu. Mereka berdua sama-sama menghargainya.
"Sekarang, ayo kita pergi keluar dan melihat apa yang dilakukan Mikail," kata Kana, "Aku yakin dia sedang memerintah pasukanku."
Leia tertawa. Gadis itu mengikuti Kana dan memang, seperti yang dikatakan wanita itu bahwa Mikail tengah mengomando pasukan Kana. Wajah pemuda itu tampak serius memerintah pasukan yang berjumlah lebih dari lima ratus orang itu.
"Mikail," Leia menghampiri pemuda itu dan memeluk lengan Mikail, "Kau benar-benar mengambil alih pasukan Kana."
Mikail menoleh dan menepuk kepala Leia, "Ada beberapa hal yang membuatku merasa harus ikut andil dalam hal ini."
"Oh ya? Apa itu?"
"Keselamatanmu, tentu saja," Kana yang berdiri di belakang mereka menyahut, "Dari pantauan kami, mereka benar-benar serius menginginkanmu kembali ke Silvista."
Leia merapatkan bibirnya dan menatap laut di kejauhan, "Bisakah kita musnahkan saja mereka?"
"Aku memberi perintah pada pasukan bila ada dua puluh orang pasukan mereka yang berhasil selamat, aku akan membiarkan mereka pergi hidup-hidup." Ujar Kana.
"Mengapa?" tanya Leia.
"Karena aku ingin mengajak perang Ratu Iris," seulas senyum lebar tersungging di bibir wanita itu, "Dan kurasa Mikail juga setuju dengan ideku."
Leia mengalihkan pandangannya pada Mikail yang menunjukkan senyum, "Kalian berdua benar-benar kejam ..., tapi aku menyukainya."
"Itu bisa menjadi tanda bahwa kita tidak akan segan-segan untuk menghabisi siapapun yang ingin mengganggumu, ratu kami." Balas Mikail.
"Sekarang mari kita lihat ..., apa mereka akan menyerang dalam waktu dekat?"
***
Sementara di dalam salah satu kapal perang Silvista, duduk seorang wanita yang tengah mengamati daratan di kejauhan. Wanita itu adalah Ratu Iris. Ia sendiri yang memimpin kedua kapal tersebut dan memerintahkan untuk menyerang kawasan di sekitar Wilayah Terlarang. Dia ingin melihat sampai mana kerajaan itu mengawasi kedua kapal ini hingga mengambil tindakan selanjutnya.
Bisa dibilang, semua ini hanyalah jebakan yang ia buat dengan sempurna.
"Bagaimana?" seseorang bertanya di belakangnya.
"Sepertinya dugaanku benar. Mereka juga mengawasi kita dan sedang mempersiapkan serangan yang mungkin akan ditujukan kemari tak lama lagi." Ujar Ratu Iris.
"Kalau begitu apakah kau memerlukan bantuan lain?" tanya sosok itu lagi.
"Tidak perlu. Kali ini kau cukup berada di sini dan tunggu perintahku selanjutnya," Ratu Iris memberi titah.
"Baiklah, sesuai keinginanmu, My Lady."
Ratu Iris melirik sosok itu sekilas kemudian kembali menatap daratan. Beberapa saat kemudian Lucius datang. Pangeran itu terlihat gagah dengan zirah keemasan yang ia kenakan. Rambutnya yang panjang dikucir ke belakang. Melihat ibunya tengah mengamati daratan, ia menghampiri dan berdiri di samping beliau.
"Apa ada pergerakan lain dari mereka, Ibunda?"
"Tidak, seperti yang kau lihat, Pangeran Lucius," jawab Ratu Iris, "Apa kau sudah siap untuk menyerang wilayah itu?"
Pangeran Lucius mengangguk. Alasan ia mengenakan zirah saat ini adalah bagian dari rencana sang ibunda. Ia akan ikut dengan kapal yang jauh lebih kecil yang berada di belakang kedua kapal perang ini. Kapal itu sengaja disembunyikan agar tidak diketahui oleh orang-orang Wilayah Terlarang, terutama dari kaum siren dan duyung yang berada di perairan mereka. Kedua makhluk itu bisa dengan mudah mendeteksi kapal kecil tersebut andai tidak dibantu oleh seseorang.
"Aku masih tidak mengerti," kata Lucius, "Mengapa kau memerlukan Lacia sebagai tumbal."
"Ia adalah kunci agar kau bisa meraih tahtamu di Kerajaan Silvista, Pangeran Lucius," balas Ratu Iris, "Jantungnya akan menjadi permata yang akan disematkan di dalam mahkota dan juga tongkat kebesaranmu."
"Apa hal seperti itu bisa terjadi?"
"Tentu saja. Buktinya ayahmu pernah membunuh saudaranya sendiri agar mendapatkan tahtanya sebagai raja di istana."
Lucius terdiam. Sejarah keluarga Kerajaan Silvista bisa dibilang dipenuhi oleh pertumpahan darah. Ia juga tidak akan heran bila nantinya dia akan membunuh Lacia, saudarinya sendiri.
Hanya saja ... entahlah. Lucius tidak mengerti mengapa ada tradisi seperti itu di kerajaan yang kelak akan ia pimpin.
"Sudah saatnya," Ratu Iris berkata, "Sekarang pergilah ke kapal yang telah disiapkan. Bawa Lacia ke hadapanku dan selanjutnya kita akan pergi dari sini."
"Aku mengerti. Apa orang itu juga akan ikut serta?" tanya Lucius sambil melihat sosok yang berada di belakang ibunya.
Ratu Iris menoleh, "Tentu saja. Ia akan ikut karena dia hafal seluk-beluk Wilayah Terlarang," katanya, "Gardos akan memandumu menuju ke tempat Lacia karena gadis itu sudah ia tandai dengan baunya sehingga tidak sulit untuk menemukannya dengan mudah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Poison Princess [End]》✔
FantasyLacia la Midford adalah seorang putri, namun ia ditakuti dan disegani karena kemampuannya sebagai ahli racun, orang-orang menyebutnya sebagai Putri Racun. Namun, apa kemampuan itu membuatnya disayangi oleh keluarganya? Jawabannya, tidak. Keluarganya...