Delapan Belas

127 4 0
                                    

Kehilanganmu adalah suatu penyesalan bagiku.

***

Bau obat-obatan menyeruak dihidung Asya, ia menyenderkan kepalanya ke bahu ibrahim, abangnya yang baru saja sampai.

Wajahnya kusut, air matanya terus saja mengalir tanpa mau berhenti, rasanya tubuhnya sudah tak berfungsi lagi selain menangis.

Asya sedikit tidak nyaman dengan bau khas rumah sakit, perutnya juga terus bergejolak, karena sedari pagi belum terisi apapun.

Namun ia tepis rasa tak nyaman itu, demi menunggu seseorang yang amat ia sayangi, tengah berbaring antara hidup dan mati.

Kecelakaan itu yang membuat ilyas dilarikan ke rumah sakit, karena luka parah sehingga membuat kepala sebelah kanannya robek.

Kata saksi yang melintas, ilyas menolong seorang anak kecil yang tengah kebingungan ditengah jalan, pada saat itu sebuah mobil melaju kencang.

Anak kecil itu berhasil selamat karena ilyas mendorong tubuh anak kecil itu, sebelum tubuhnya melayang dan menghantap rumah kokoh dipinggir jalan.

"Ilyas." Asya terus saja menangis, meraung tidak jelas, ia sempat beberapa kali pingsan.

Setelah mendengar kabar baik, ia malah harus mendengar kabar buruk yang menusuk relung hatinya.

Zahra berlari ke arah sang besan, ia memeluk arpika.

"Ada apa? Kenapa bisa seperti ini."

Arpika menenangkan zahra, dan menceritakan kejadian sebenarnya.

Dokter keluar dari ruangan dimana ilyas ditangani. "Keluarga Pasien?"

Asya buru-buru bangkit, diikuti oleh yang lainnya.

"Saya istrinya dok."

Dokter itu melihat kondisi dari asya yang begitu hancur, terlihat dari mata asya yang membengkak.

"Mungkin salah satu dari keluarga bisa ikut saya ke ruangan."

Dokter itu berlalu, berjalan menuju ruangannya.

"Biar asya aja ma."

Zahra menahan lengan asya, "Jangan sayang, pikirin kondisi kamu. Kamu disini saja, biar fandu yang menghampiri dokter."

Fandu mengangguk, "Iya, biar abang saja. Kamu disini aja."

Fandu berjalan kearah dimana ruangan dokter tadi.

Asya bangkit, ia melihat ilyas yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, kepalanya diperban, tangannya luka, pipinya lebam.

"Cepat sembuh, Abi."

***

"Bagaimana kondisi adik saya dok?"

"Mohon bersabar pak, pasien mengalami koma akibat benturan yang begitu keras, yang mengakibatkan ia menjadi tak sadarkan diri."


Bagai tersambar petir disiang bolong, fandu mencoba tegar dengan ujian ini. Adiknya tidak biasa sakit, saat sakit kenapa mesti separah ini.

Fandu tidak memikirkan akan ilyas, namun ia sangat khawatir akan kesehatan Asya, apalagi sekarang asya tengah mengandung.

"Tapi dia baik-baik saja kan dok? Tidak ada kelainan dalam sarafnya?"

"Berdoa saja yang terbaik pak. Saya juga mewanti, untuk bapak dan keluarga agar lebih bersabar."

Fandu mengangguk, ia pamit kepada sang dokter, dan mengucapkan terima kasih.

Fandu masih khawatir akan asya, ia takut jika asya tidak bisa menerima keadaan. Ia takut calon keponakannya akan terancam, fandu mengatur raut wajahnya menjadi lebih tenang.

"Gimana bang? Ilyas gak papa kan?"

"Iya, ilyas gak papa, tapi,-"

"Tapi apa fan?"

"Ilyas koma, dokter tidak tahu sampai kapan ilyas akan koma, kita berdoa saja yang terbaik untuk ilyas."

Satu detik.... Dua detikkk... Asya masih mampu menopang berat tubuhnya, di detik kelima, tumbuhnya terhuyung ke belakang. Untung dengan sigap arpika menangkap tubuh asya.

Meraka menyuruh para perawat untuk memberi penanganan pada asya, asya masuk ke ruangan.

***

Disini asya berada, ditempat dimana hatinya menginginkan untuk tidak berada disini, asya benci tempat ini, tempat dimana suaminya mempertaruhkan nyawanya.

Arpika dan lukman menemani asya diruangannya yang masih memejamkan matanya.

Arpika merasakan sakit tertahan diulu hatinya, cobaan terberat yang baru pertama kali asya rasakan.

"Sabar mi, berdoa yang terbaik."

Arpika memeluk lukman dari samping, jika ia saja tak kuat lalu bagaimana dengan asya? Disaat kehamilan yang masih muda itu, cobaan menerpa asya.

"Ilyas.... Ilyas... Jangan pergi, bi. Jangan... Kamu harus nemenin aku sampai aku melahirkan... Ilyas... Abi... Jangan pergi.... ILYAS!"

arpika dan lukman memegang lengan asya, mengusapnya memberi ketenangan, "Sayang, bangun sayang."

Asya terbangun dan langsung menghambur ke pelukan arpika, menangis itulah yang bisa ia lakukan.

"Mi.. Kalau ini mimpi, tolong mi, tolong bangunin asya."

Arpika juga tak bisa membendung tangisannya, namun sebisa mungkin ia terlihat kuat dihadapan anaknya itu.

"Asya, dengerin papi. Istigfar sayang, ini itu bukti bahwa Allah sayang sama kamu, seberapa kuat kamu bertahan dengan ilyas. Saat keadaan ilyas seperti ini."

Lukman mengusap punggung putrinya yang tertutup hijab lebar, "Kamu harus ikhlas, jangan jadi lemah. Allah gak akan ngasih cobaan diatas kemampuan umatnya. Allah yakin bahwa kamu itu kuat, kamu bisa menghadapi ini."

Asya mencerna dengan baik ucapan papinya, benar apa yang papinya katakan. Ia harus kuat, agar janin yang berada diperutnya bisa tumbuh dengan sehat, bukan malah lemah seperti ini.

"Asya mau ke ruangan ilyas pi."

"Iya, iya nanti kita kesana. Tapi, kamu makan dulu, mami bilang kamu belum makan apapun."

Gelengan dari asya membuat lukman hampir frustrasi, bagaimana caranya agar ia bisa merayu putrinya itu.

"Sya, dengerin papi. Ilyas disana butuh semangat dari kamu! Kalau kamu kaya gini, gimana bisa kamu semangatin ilyas? Emangnya dengan cara kamu lemah kaya gini, ilyas bakalan cepat sembuh? Berpikir dewasa, kamu sudah dewasa!"

"Papi.. " Arpika mengusap punggung suaminya.

Asya hanya menundukkan kepalanya, tak berani menatap manik mata papinya.

"Asya makan ya, jangan buat papi marah lagi."

Akhirnya asya mengangguk, walau sebenarnya ia enggan untuk memakan apapun, perutnya menolak.

Married With FormerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang