Dua Puluh

115 5 0
                                    

'Sungguh, kehilangan seseorang yang sangat kita cintai dan kita sayangi adalah hal terberat dalam hidup. Tapi inilah hidup, tak semua berjalan dengan keindahan.'

***

Asya sudah bisa menerima keadaan, walaupun hatinya masih sakit, karena ilyas harus segera dipindahkan ke rumah sakit yang peralatannya jauh lebih memadai dari rumah sakit sebelumnya. Yaitu, ke luar negeri.

Sakit, memang ia rasakan. Tapi ia tak bisa mengatakan tidak, karena ia ingin ilyas terbangun dari komanya, walaupun kemungkinan itu hanya sedikit.

Para keluarga ilyas sedang mengurus keberangkatan menuju Singapura, kata dojter yang merawat ilyas, ia sudah memberitahu rekannya perihal penyakit ilyas dan dokter yang berada disingapura pun menyanggupi.

Berhubung Asya tengah mengandung, dan kandungannya cukup lemah. Keluarganya tidak menyarankan untuk Asya ikut, mereka hanya memperbolehkan agar Asya selalu berdoa.

"Ma.. Aku mau ikut, a.. Aku mau nemenin ilyas."

Zahra menatap iba sang menantunya itu, "Sayang, doakan selalu ilyas ya, kita harus kuat. Kamu percaya takdir Allah kan? Kamu disini saja, jaga kandungan kamu, nanti kalau kamu udah sehat, dan ilyas sudah sadar, Mama akan panggil kamu kesana."

Asya sudah mulai menangis, ia merasa kehilangan amat dalam sekarang, semoga bukan kehilangan untuk selamanya.

"Ma.. Maaf, maaf Gara-gara Asya ilyas begini."

Zahra merengkuh tubuh mungil menantunya, ia menggelengkan kepalanya, merasa tak setuju dengan ucapan Asya.

"Kamu berdoa saja, jangan berpikiran yang negatif. Mama, papa dan ilyas pamit dulu, doakan kami agar bisa membawa ilyas pulang dengan keadaan normal seperti semula."

Arpika mendekat ke arah sang putri, yang tubuhnya sudah tak berdiri sempurna, diikuti oleh lukman.

Khoirul, zahra dan ilyas pun sudah pergi memasuki bandara soekarno hatta, yang dijaga oleh beberapa perawat dan petugas keamanan.

Seketika tubuh Asya merolot, matanya tertutup rapat, Asya pingsan dan ini mungkin sudah ke seratus kalinya semenjak ilyas dinyatakan kecelakaan dan berakhir koma.

Arpika dan lukman segera memapah Asya menuju mobil, dan langsung meluncur kearah rumah sakit terdekat. Arpika sibuk dengan gawainya, ia menghubungi anak-anaknya dan juga fandu, selaku kakak ipar Asya.

Sesampainya dirumah sakit, lukman berteriak histeris dan beberapa perawat datang dengan membawa brangkar lalu membawa Asya keruang pemeriksaan.

Arpika dan lukman sudah mondar-mandir tak karuan layaknya seperti setrikaan.

Dari arah pintu utama mereka melihat keempat anaknya berjalan dengan tergesa.

"Bagaimana keadaan Asya tante."

"Asya didalem, dia pingsan lagi. Tante gatau apa yang terjadi setelah ini."

Vanesha langsung memeluk arpika erat, ia bisa merasakan apa yang maminya rasakan, pasalnya ia juga berada dititik paling bawah ini, dimana anak pertamanya pernah sakit parah dan membuat ia sangat terpukul.

"Kita doain Asya, semoga dia baik-baik aja."

"Dari pada kita disini melamun tidak jelas, lebih baik dan akan sangat baik bila kita ke mushala, kita berdzikir meminta pertolongan agar kedua orang yang tengah kita sayangi bisa menjalani masa kritisnya."

"Mari om, far, im."

Keempat lelaki itu berjalan secara bersamaan menuju mushala yang berada dipojok halaman rumah sakit.

Married With FormerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang