"Pesan apa mas?" Seorang waitress berdiri sambil memegang sebuah catatan kecil di tangannya serta sebuah pena hitam.
"Vanilla latte satu" Jawab laki-laki dengan jaket yang melindungi tubuhnya dari dinginnya udara di luar karena hujan. Dia menutupi kepala nya dengan topi, terlihat seperti seseorang yang sedang melakukan aksi spionase.
Aroma latte yang di bawa waitress berseragam monochrome itu menyeruak ke seluruh penjuru cafe. Laki-laki itu memberikan selembar uang kertas, "kembalinya ambil aja."
"Eh? Makasih mas.." waitress itu tersenyum senang, dia berlalu pergi.
*
*
*
Ponsel Deka berdering memunculkan sebuah pesan,
Mama
ka, bisa jemput adik sekarang?
17:45"Siapa, Dek?" Tanya Lubna.
"Nyokap, Na. Gue di suruh jemput Dian di sekolahnya."
"Yaudah jemput, kasian adik lo." Lubna yang melihat ekspresi tidak enak di wajah Deka langsung menyela nya sebelum gadis itu berkata-kata lagi, "Gue gampang, tinggal naik ojek nanti."
"Serius nih, Na?" Deka mengerutkan dahinya, Lubna mengangguk dan tersenyum pada Deka.
"Yaudah sorry nih, ya.. bye Na" Deka mengambil ranselnya lalu memakainya.
"Hmm.. take care, Oke?" Deka menyatukan jari telunjuk dengan ibu jarinya membentuk huruf '0' yang mewakili kata 'Ok'.
Deka berjalan melewati laki-laki yang sedang meneguk latte, dia menghentikan langkahnya sebentar untuk menengok sedikit ke arah orang asing tersebut. Perasaannya mengatakan kalau dia mengenal orang itu, namun saat Deka menengok untuk memastikan, orang itu langsung menyibukkan diri dengan memainkan ponselnya sambil menunduk menutupi wajahnya.
'Mungkin perasaan gue doang.' Deka membatin lalu berjalan kembali tanpa memperdulikan lagi orang tadi.
Lubna mencari sebuah nama di daftar kontak nya,
Leon.
Tombol hijau di geser olehnya, tak lama setelah itu terdengar suara keramaian dari sebrang sana.
"Hallo? Yo, lo dimana?"
"Gue lagi di rumah Gibran. Kenapa?"
"Jemput gue di cafe dandelion bisa?"
"Yahh gabisa Na, lo naik taxi aja deh. Gue lagi sibuk sekarang."
Tanpa menjawab, Lubna langsung mengklik tombol merah lalu menghela nafas kecewa. Dia berdiri, dan berjalan meninggalkan cafe. Merasa tangannya di tahan oleh seseorang, orang yang asing dan menakutkan bagi Lubna karena wajahnya yang tertutup oleh topi di tambah orang itu menunduk.
"Lepas! Atau gue ngejerit sekarang kalau lo copet?!" Ancam Lubna pada orang asing itu.
"Fitnah aja lo!" Cowok itu membuka topi nya dan menunjukkan wajahnya. Lubna menaikkan alisnya heran,
"Kok lo bisa ada disini?"
"Gue ada dimana pun lo berada." Jawab Bryan.
"Gue mau pulang." Jawab Lubna tidak minat, Bryan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Kunci.
"Sama gue." Ajak Bryan yang hanya membawa moge merahnya. Keduanya berjalan keluar cafe, ternyata Bogor masih romantis dengan hujannya. Rintik air semakin berkurang. Bryan mengulurkan tangannya ke depan, tangannya menangkap beberapa tetes air dan ia cipratkan ke wajah gadis di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lubna [END]
Teen FictionSekeras-kerasnya batu, kalau terus terkena tetesan hujan, maka perlahan akan berlubang. Begitupun cinta dan perasaan -Lubna Tidak ada yang berhak melarang cinta, hal itu mengalir sendiri bagai arus sungai yang tak mungkin di hentikan. -Bryan Egoisme...