DUA BELAS

141 15 0
                                    

Menatap sekitar dengan pandangan kosong, hanya itu yang Lubna lakukan sedari tadi. Arka mencoba menenangkannya, namun gadis itu masih terlalu trauma dengan kejadian di sekolah hari ini.

Arka berinisiatif untuk mengajak Lubna ke Cafe, meminum coffee favorit Lubna agar dia bisa lebih tenang. Lubna menyadari arah motor Arka yang mengarah ke Dandelion's Cafe,

"Anterin gue pulang."

Arka memberhentikan motornya di pinggir jalan dekat dengan Cafe tersebut, dia turun dari motor dan menatap Lubna lirih penuh rasa bersalah. "Maafin gue.."

Tidak ada jawaban sama sekali walaupun dalam hati Lubna merasa bingung dengan permintaan maaf Arka. "Gue cuma mau nenangin lo, kita minum bentar, mau?"

"Gue mau pulang! Kalo lo nggak bisa antar gue, gue bisa pulang sendiri."

Lubna hendak turun dari motor Arka, namun Arka menghadangnya dan mengantar Lubna pulang. Sesampainya di depan rumah Lubna, gadis itu turun dan menyerahkan helm yang di pinjamkan Arka. Tidak seperti biasanya, Lubna yang selalunya banyak bicara kali ini lebih banyak diam.

"Makasih." Lubna membuka gerbang, lalu masuk ke dalam rumah dengan perasaan campur aduk.

"Sama-sama, Na"

Dia membuka pintu, dan langsung di sambut pemandangan yang sebelumnya tidak pernah dia lihat. Lisa terlihat asik saat mengobrol dengan seorang laki-laki paruh baya yang duduk di sampingnya.

"Ini pasti Lubna, ya?" Tanya pria itu, Lubna semakin heran, darimana orang itu mengenalnya? "Kenalin, nama om, Riyadh Tyo. Panggil om Tyo" dia mengulurkan tangannya, Lubna mengabaikannya dan membalasnya dengan pertanyaan.

"Om siapa nya mama?"

"Dia calon papa kamu sayang.." om Tyo tersenyum, Lubna tidak percaya dengan pernyataan yang di sampaikan langsung mamanya, Lisa. Kalimat itu berhasil menusuk dan menghancur remukkan mood, hati, dan perasaan Lubna hari ini.

Tanpa pamit atau apapun, Lubna berlari menuju kamar sambil mengabaikan teriakan dari Lisa. Lubna tidak percaya dengan semuanya, dia mengunci kamar dan meluapkan emosinya di dalam sana.

"Maaf atas kelakuan anakku, mas.."

"Tak apa, nantinya dia akan mengerti.."

Di kamar Lubna,

"Gue nggak tau harus cerita ke siapa lagi, dan gue nggak tau ini ke berapa kalinya gue nangis.. hiks" Lubna membenamkan wajahnya pada bantal yang sudah basah, dia meremas sprai di dekatnya dengan frustasi.

Dia meraih ponselnya, menghubungi Keke, satu-satunya orang yang mungkin tepat untuk menjadi teman cerita, walaupun mereka baru kenalan beberapa waktu ini.

*

*

*

"Mamaaa, bang Arka mana sih..? Earphone aku di ambil dia dari kemarin, katanya abang mau di balikin tapi sampai sekarang batang hidungnya juga nggak kelihatan" Keke berlari kesana kesini mencari Arka yang belum ketemu sedari tadi.

"Mama nggak tau sayang.. coba kamu cari di taman belakang" sahut mamanya di ruang tamu.

Keke menuruti dan berlari ke arah taman, dia segera berhenti dan bersembunyi di balik dinding ketika melihat kakaknya sedang menelepon seseorang, terlebih neberapa kali Arka menyebut nama teman barunya, Lubna.

“Udah cukup permainannya, gue udah capek!”

Langkah kita tinggal sedikit lagi, lo mau rusak rencana gue yang udah matang ini?!

“Gue gamau main-main sama perasaan Lubna lagi, gue nyesel sempat jadiin dia bahan taruhan!”

Cih! Cowok lemah lo, baru segitu aja udah terbawa perasaan.

“Terserah lo mau bilang apa, intinya gue selesai disini!”

Tuuut..

“Ta.. taruhan?” Keke mengucap kata itu berulang ulang, dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Keke mengintip lewat sebuah dinding dan bahunya menabrak punggung Arka. Dia ketahuan menguping, Arka langsung menariknya ke dalam taman.

“Ke, kamu ngapain disini?”

“Harusnya aku yang nanya, abang ngapain disini?”

“Kalo di tanya orang yang lebih tua, jangan melawan!"

“Kalo abang lebih tua dari aku, harusnya abang ngerti apa yang abang lakukan ke kak Lubna itu nggak baik, jahat, kejam bang!. Salah bang Arka itu banyak, pertama, abang nyolong earphone aku, kedua, abang gak ajak aku ke perayaan ulang tahun kak Lubna di sekolah, dan yang ket-”

“Ke! Jaga batasan kamu!” Nada bicara Arka meninggi.

Ponsel di tangan Keke berbunyi, menandakan sebuah panggilan.

hallo..?

“iya kak, kenapa? Kok suaranya serak gitu?” tanya Keke cemas

"Siapa?" Tanya Arka penasaran

“Diem dulu deh, dasar rese!”

Ke, aku mau cerita. Kita bisa ketemuan di cafe?

“iya kak bisa, kapan? Sekarang nih?”

iya Ke, gak apa kan?

“siap gak apa dong kakak cantik!”

oke, makasih Keke

“sama-sama kak”

Tuuut...

Telepon terputus, Keke segera bersiap untuk pertemuannya dengan Lubna.

"Kesalahan terakhir bang Arka, abang bentak aku."

Di dandelion's cafe mereka bertemu, Lubna sudah duduk sendirian dengan segelas coffee di depannya, Keke segera menghampirinya lalu duduk sambil menyapa Lubna.

Setelah Keke memesan minuman, Lubna tidak langsung bercerita. Dia justru lebih banyak diam yang membuat Keke tidak suka dengan suasana itu. Dengan percaya diri Keke membuka suara dan bertanya, "ehm.. kak Lubna, kakak sebenarnya mau cerita apa?"

Lubna menggigit bibir bawahnya, 'tolong jangan nangis mulu Na', batin Lubna. Dia menghela nafas panjang lalu menceritakan semua masalahnya pada Keke.

"Gue kadang bingung, kenapa semua masalah datang secara beruntun gini"

Entah mengapa, dengan bercerita saja sudah membuat hatinya lega. Seperti yang orang-orang bilang, terkadang kita hanya butuh di dengar.

"Menurut lo gimana, Ke? Apa yang harus gue lakukan?"

Keke menarik nafas panjang, dia tersenyum,
"Coba kakak lebih sering ngobrol lagi sama kak Bryan, aku gak terlalu ngerti sih karena aku juga bingung sebenarnya.. cuma saran aju kalau bisa kakak kayak dulu lagi, jangan jauhan gini. Aku yakin kak Bryan juga mau dekat seperti dulu.

Untuk masalah orang tua kak Lubna, aku cuma bisa bilang sabar dan coba terima perlahan. Karena mungkin itu memang sudah keputusan tante Lisa, dia pasti mau memberi yang terbaik buat kakak, aku yakin itu

Dan tentang kebingungan kakak itu tentang siapa yang lebih baik, kak Lubna bisa liat nanti. Jalani perlahan kak, jangan terlalu cepat ambil langkah. Karena yang aku tahu, mereka yang terlihat baik belum tentu benar-benar baik"

'Bang Arka misalnya' ucap Keke dalam hati. 'Liat aja bang, aku ga bakal biarin bang Arka nyakitin kak Lubna'.







[TBC]

Lubna [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang